musik dalam blog

SMASH musersgfm.com Ada Cinta musersgfm.com – brought to you by mBoX Drive

Free Mp3 Uploads at mBoX Drive

Kamis, 24 Oktober 2013

Analisis Struktur Mantra Mesosambakai sebagai puisi Lama di Desa Matabubu Jaya Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sastra lama disebut juga sastra Nusantara atau sastra daerah yang kini tersebar di sekuruh Nusantara dalam jumlah yang cukup besar. Bahasa-bahasa daerah di Nusantara masih memiliki sastra lama yang masih tersimpan dalam bahasa-bahasa daerah yang umumnya berbentuk lisan. Sastra lama ini terancam kepunahannya disebabkan kurangnya perhatian masyarakat akibat nilai-nilai dan sikap hidup yang telah berubah. Fungsinya yang hidup berangsur-angsur menipis dan hilang. Hal ini seiring dengan perkembangan zaman yang selalu menggunakan logika berpikir dan membuktikannya dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam sastra lisan tentunya terdapat bermacam-macam bentuk, fungsi, dan jenis yang berbeda. Salah sastu jenis sastra lama adalah mantra. Mantra merupakan salah satu bentuk puisi lama dan dianggap sebagai bentuk puisi tertua di Indonesia (Badudu, 1994: 5-6).

Mantra sebagai bentuk puisi tentunya mempunyai ciri sebagaimana halnya dengan karya klasik lainnya, antara lain tidak memiliki nama pengarang (anonim). Itulah sebabnya mantra dikatakan sebagai salah satu jenis puisi tertua. Penyebaran sastra lama termasuk mantra berlangsung secara lisan dengan menggunakan system yang ketat.

Mantra mesosambakai salah satu bentuk mantra yang digunakan untuk mewujudkan regenerasi ketika seorang anak dilahirkan. Mantra mesosambakai merupakan bentuk mantra yang mengharapkan seorang anak tumbuh sehat, jauh dari marabahaya, dan kelak menjadi pengganti atau pelanjut keturunan yang berbudi pekerti luhur dan bertanggung jawab dalam keluarganya.

Mantra mesosambakai ini merupakan salah satu jenis mantra yang digunakan oleh masyarakat yang baru saja dikaruniai keturunan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat ketika menyambut kelahiran anak pertama. Dengan harapan anak tersebut dapat tumbuh sehat dan jauh dari mara bahaya serta kelak bias menjadi pengganti atau pelanjut keturunan yang berbudi pekerti yang luhur daan bertanggung jawab dalam keluarganya.
Keberadaan mantra mesosambakai kini semakin kurang dikalangan masyarakat Matabubu Jaya. Apalagi didukung oleh tidak adanya peneliti yang meneliti hal tersebut. Sehingga dikhawatirkan mantra mesosambakai ini akan menghilang di masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlulah kiranya mesosambakai ini untuk diteliti agar menjadi bahan bacaan generasi berikutnya.
1.2    Masalah
Masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana struktur mantra mesosambakai sebagai puisi tradisional yang ada di desa Matabubu Jaya Kabupaten Konawe Selatan?

1.3    Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan mendeskripsikan tentang struktur mantra mesosambakai yang ada di desa Matabubu Jaya Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan.

1.4    Manfaat Penelitian
Setelah proses penelitian ini selesai, diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Terutama bagi pembaca dan penikmat sastra serta dapat memberikan masukan bagi peneliti selanjutnya. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman para pembaca terhadap karya sastra. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan respon bagi pada para pembaca dan penikmat sastra khususnya yang berhubungan dengan sastra klasik. 

BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan tentang Sastra
2.1.1 pengertian Sastra
Secara umum sastra (Sansekerta: Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta “Sastra” yang berarti teks yang mengandung intruksi atau pedoman dari kata dasar “Sas” yang berarti intruksi atau ajaran dan “tra” yang berarti alat atau sarana. Zulfahnur, dkk (1998:1) dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merajuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Istilah sastra telah dipergunakan oleh pakar-pakar sastra kita. Panuti Sudjiman (1986: 68) mengatakan bahwa sastra sebagai karya lisan atau tulisan ysng memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya. Sedangkan menurut Semi (1988: 8)  sastra adalah suatu bentuk hasil pekerjaan seni kreatif.
Sejak zaman Plato, sastra digunakan untuk menjembatani fakta dengan fiksi, dan kenyataan dengan rekaan (Ratna, 2008: 218).

Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan social. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, menganggap karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, criteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran penggambaran, atau yang hendak digambarkan (http://izqiizmir.blogspot.com).

Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan bahasa sebagai medianya. Sastra sebagai refleksi dari kehidupan banyak mengandung nilai positif bagi penikmatnya. Kehadiran karya sastra bagi penikmatnya dapat memberi nuansa baru dalam hidup dan membuat penikmat itu memperoleh kesan untuk memperbaiki tingkah laku dalam hubungan antar sesame manusia dan Tuhannya (dikutip dari skripsi salah satu mahasiswa pend. Bahsa dan sastra Indonesia atas nama Paliama dengan judul skripsi “Fakta-fakta Cerita dan Aspek Didaktik yang Terkandung dalam Kumpulan Cerpen Cari Aku di Canti Karya Wa Ode Wulan Ratna”).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1230) disebutkan bahwa sastra antara lain mengandung:
1.    Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari);
2.    Kesusastraan, karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai cirri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik dan lirik;

Rahmanto (1988: 10) mengatakan bahwa sastra adalah mengandung kumpulan dan sejumlah bentuk bahasa khusus yang digunakan dalam berbagai pola yang sistematis untuk menyampaikan segala perasaan dan pikiran. Sastra adalah tersusun dari bahasa dan dapat dipelajari lewat bahasa.

Menurut Hornby (Zulfahnur, dkk., 1996: 7) sastra adalah tulisan bernilai seni mengnai suatu objek khusus kehidupan manusia dalam suatu negeri pada suatu masa. Begitu pula dengan pendapat Jakob Sumardjo (Zulfahnur, dkk., 1996: 8) menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Dari sumber lain, peneliti juga menemui definisi tentang sastra yaitu Sastra adalah karangan lisan atau tulis yang memiliki keunggulan, keorsinilan, kemudian dalam isi dan ungkapan (Sudjiman, 1980: 71). Bertolak dari konsep tersebut, beberapa ahli memberi batasan tentang sastra, yaitu sebagai berikut.
1.    Sastra adalah sebuah  nama yang diberikan pada sejumlah hasil  tertentu dalam suatu kebudayaan (Luxemburg, 1985: 9).
2.    Sastra adalah karya tulis yang memiliki cirri-ciri keunggulan, seperti keaslian keartistikan, keindahan, isi dan ungkapannya, jika dbandingkan dengan karya tulis yang lainnya (Suprapto, 1993: 77).
3.    Sastra adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistic dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (Esten, 1994: 9).

2.1.2 Sastra Lama
Pengertian kesusastraan lama sebenarnya masih mempunyai acuan yang sangat luas. Di dalamnya termasuk sastra yang fiktif dan nonfiktif. Rani (1996: 57) memberikan pengertian sastra lama adalah sastra yang lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu masyarakat yang masih sederhana dan terkungkung kuat oleh adat istiadat.

Ciri-ciri sastra lama, yaitu:
1)    Sangat terikat oleh kebiasaan adat istiadat,
2)    Tidak berani mengemukakan keaslian pribadi pengarangnya. Dalam karyanya, para pengarang 

sastra lama tidak mau membubuhkan nama aslinya atau tidak dipakai nama sama sekali atau anonim,
3)    Tergantung dan mengikuti kenyataan alam sekitar,
4)    Tema dan isi ceritanya berkisar pada tema-tema perjuangan antara sifat baik dan sifat buruk, dan
5)    Bersifat istana sentries atau berkisar pada kehidupan lingkungan istana.

2.1.3 Karya Sastra
Karya sastra merupakan tanggapan penciptanya terhadap dunia yang dihadapinya. Di dalam sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang, dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial). Dari tanggapan penciptanya terhadap dunia sekelilingnya yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, maka kiranya dapat dikatakan bahwa karya sastra merupakan pembayangan atau pencerminan realitas sosial.

2.1.4    Sastra Lisan
Budaya lisan secara etimologi berasal dari “oral Cultur”. Pembicaraan budaya lisan dipertentangkan dengan sastra lisan atau cerita rakyat yang pada umumnya berbentuk lisan. Muncul istilah sastra lisan yang merupakan terjemahan istilah bahasa asing yaitu oral literatur.

Yang dimaksud dengan sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi sastra warga suatu kebudayaan dan diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut (Danandjaja, 1997: 19). Selanjutnya, Atmazaki (1993: 82) bahwa sastra lisan adalah sastra yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut oleh seorang pencerita atau penyair kepada pembaca atau kelompok pendengar. Senada dengan hal tersebut, Arifin mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut), umumnya disampaikan dengan baik dengan musik tidak (1990: 3).

Sastra lisan merupakan merupakan suatu unsur kebudayaan yang sangat menonjol dalam daerah tertentu (setia, dkk. 1990: 3). Senada dengan hal tersebut, mantra mesosambakai yang menjadi objek penelitian ini terintegrasi pula dalam uraian sastra lisan tersebut. Kal ini karena mantra mesosambakai merupakan suatu unsur kebudayaan tertentu yang disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut.

Hutomo memberikan batasan bahwa sastra lisan adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaanyang disebarluaskan dan diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut. Shipley menjelaskan bahwa sastra lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonym, menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa lampau (Gaff ar, 1990: 3). Eddy Setia, dkk  (1991: 3) menjelaskan bahwa sastra lisan adalah bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun.

Hutomo (1983: 10-11) menjelaskan bahwa penggolongan sastra lisan terdiri atas:
1.    Bahan-bahan yang bercorak cerita, yaitu (1) cerita biasa, (2) mitos, (3) legenda, (4) epik, (5) memori, (6) cerita tutur,
2.    Bahan-bahan yang bukan cerita, yaitu (1) ungkapan, (2) nyanyian kerja, (3) peribahasa, (4) teka-teki, (5) puisi lisan, (6) nyanyian sedih pemakaman, (7) hokum adat, dan
3.    Bahan-bahan yang bercorak lakuan, yaitu (1) drama pentas, (2) drama arena.

Sehubungan dengan hal tersebut, Danandjaja (1997: 22) membagi sastra lisan dalam enam jenis yaitu sebagai berikut: (1) Bahasa rakyat seperti sindiran dan mantra, (2) ungkapan tradisional seperti pepatah, peribahasa, dan seloka,
(3) pertanyaan tradisional seperti teka-teki, (4) cerita rakya seperti mitos, legenda, dan dongeng, (5) puisi rakyat seperti pantun, syair, bidal, dan gurindam, (6) nyanyian rakyat.

Atmazaki (1968: 86) mengatakan bahwa fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut.
1.    Dengan sastra lisan, masyarakat atau nenek moyang umat manusia akan mengapresiasikan gejolak jiwanya dan renungannya tentang kehidupan emosi cinta yang diungkapkan lewat puisi-puisi sentimental, binatang buas dihadang dan dijinakkan dengan mantra-mantra, asal-usul daerah dengan bermacam-macam kearifan dicurahkan lewat berbagai mitos, dongen, fambo, dan riwayat termasuk di dalamnya permainan rakyat dan nyanyian sacral
2.    Sasta lisan berfungsi untuk mengungkapkan solidaritas dan menyegarkan pikiran serta perasaan. Anak dininabobokan dengan nyanyian, kelelahan bekerja ditemani dengan pantun, upacara-upacara agama disampaikan dengan pidato-pidato adat.
3.    Sastra lisan berfungsi untuk memuja raja, pemimpin dan orang-orang yang dianggap suci, keramat, dan berwibawa oleh kolektif tertentu.

Teeuw (1984: 304) mengemukakan fungsi sastra lisan dalam masyarakat bergerak dari fungsi estetik sampai kepada fungsi agama dan social. Fungsi sastra lisan menurut Teeuwk berwujud (1) afirmasi, yaitu menentukan norma-norma sosio budaya yang ada pada waktu tertentu, (2) restorasi, yaitu mengungkapkan keinginan, kerinduan pada norma yang sudah hilang atau tidak berlaku lagi, dan (3) negasi, yaitu memberontak atau mengubah norma yang berlaku.

2.2 Puisi Lama
Dalam dunia kesusastraan termasuk sastra lisan, puisi merupakan salah satu genre sastra yang intinya mengutamakan pemadatan isi dan mengungkapkan suatu keadaan dengan cara pensublimasian. Dalam hal pemberian definisi tentang puisi baik puisi lama maupun puisi modern sampai saat ini belum ditemukan batasan-batasan yang tepat dan memadai, karena konsep-konsep yang diajukan oleh para ahli selalu berorientasi pada pendekatan yang berbeda, yaitu struktur fisik dan struktur batin.

Pada umumnya, para ahli berpendapat bahwa yang dimaksud dengan puisi lama adalah semua bentuk puisi yang terikat oleh syarat-syarat tradisional seperti keterikatan jumlah baris dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap baris, berirama, mempunyai rima, bersifat komunal dan bersifat anonim.

Selaras dengan pernyataan tersebut, Sutarno (1967: 13) mengemukakan bahwa puisi lama adalah puisi yang terikat oleh syarat-syarat tradisional, yaitu keterikatan jumlah baris dalam sebait, jumlah suku kata dalam sebaris, susunan sajak secara vertical, hubungan baris-barisnya serta irama menurut pola tertentu. Dengan demikian, puisi lama mempunyai bentuk yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum isinya dibeberkan. Hal ini berarti puisi lama mementingkan bentuk daripada isi sehingga bentuknya sangat statis.

Pendapat serupa dikemukakan pula oleh Husnan (1986: 7) yang menegaskan bahwa puisi lama adalah puisi yang terikat oleh adanya aturan-aturan tertentu yang haarus dipatuhi oleh pengarang/masyarakat pemiliknya. Aturan-aturan yang dimaksud adalah (1) keterikatan jumlah baris dalam sebait, (2) jumlah suku kata dalam setiap baris, (3) mempunyai persajakan akhir pada tiap bait,
(4) mempunyai rima, (5) bersifat komunal.

Dari kedua pendapat tersebut, rupanya cenderung menampilkan atau merumuskan puisi lama dilihat dari segi cirinya bukan dari segi konsep atau definisi. Dengan demikian, berarti dapat dikatakan bahwa puisi lama mempunyai beberapa cirri yang dimilikinya, yaitu (1) yaitu terikat oleh jumlah baris dalam sebait, (2) terikat oleh jumlah suku kata dalam satu baris, (3) mempunyai persajakan, (4) pada umumnya dapat dilantunkan, (5) bersifat komunal, (6) bersifat statif, dan (7) bersifat anonim.
Pembagian puisi lama berdasarkan bentuknya menurut Ema Husnan (1986: 32) terdiri atas pantun, syair, gurindam, dan seloka. Selain bentuk puisi lama yang dikemukakan di atas, ada pula bentuk puisi lama yang lain, yaitu mantra, bidal, masnawi, rubai, kith’ah, nazam, dan gazal.

Dikutip dari skripsi salah satu mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia yang berjudul “mantra Pontasu Sebagai Puisi Tradisional di Desa Laeya Kabupaten Muna”, mengatakan bahawa puisi lama adalah pancaran masyarakat lama dan mempunyai ciri sebagai berikut.
1.    Merupakan masyarakat yang hidup bersama atau masyarakat gotong royong.
2.    Merupakan masyarakat buta huruf. Kalaupun ada tulisan, maka bagi mereka kepandaian tulis baca itu merupakan kepandaian istimewa dan hanya terbatas pada golongan cendekiawan atau para pujangga.
3.    Statis yaitu masyarakat yang setia dan mempertahankan sifat kekolotan (konsefatif) dan tradisional.

Usman (1963: 139) mengemukakan bahwa puisi lama merupakan bagian kebudayaan lama yang dipancarkan oleh masyarakat lama. Jadi, kalau kita hendak mengenal puisi lama itu, maka pertama kali mestilah mengenal kebudayaan dan masyarakat lama itu sendiri.

2.2.1 Ciri-ciri Puisi Lama
1.    Puisi lama pada umumnya merupakan puisi rakyat dan tidak dikenal pengarangnya (anonim). Hal ini juga disebabkan para pujangga tidak mau menonjolkan diri serta mengabadikan hasil karyanya kepada masyarakat sehingga menjadi milik bersama.
2.    Puisi lama pada umumnya disampaikan dari mulut ke mulut, sehingga menjadi sastra lisan. Setelah terdapat tulisan barulah kita jumpai puisi tertulis seperti syair dan gurindam. Namun karena belum dikenal teknik percetakan, maka hasil karya mereka itu tidak dapat dibaca oleh seluruh masyarakat.
3.    Puisi lama itu sangat terikat oleh syarat-syarat yang mutlak dan tradisional, yaitu jumlah baris dalam setiap bait jumlah suku kata dalam tiap baris, sajak serta irama.

2.2.2 Analisis Puisi lama
Analisis merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian itu untuk memperoleh pengertian yang tepat  dan pemahaman secara keseluruhan (Muliono, 1990: 32). Menganalisis sastra adalah penguraian karya sastra atas unsur-unsurnya untuk memahami pertalian atas unsur-unsur itu.

Analisis karya sastra secara struktural lebih menekankan pada ikonik (lukisan), simbolik (lambang), sehingga analisisnyapun perlu mencakup tiga unsur kajian, yaitu karya sastra itu sendiri, latar belakang pengarang, dan latar social sejarah masyarakatnya.
Analisis karya sastra mengikuti pandangan struktural ini mencakup dua hal penting, yaitu (1) karya sastra itu sendiri merupakan tampilan pikiran, pandangan, dan konsep dunia, dengan tanda-tanda yang mengandung makna, (2) analisis keterkaitan pengarang dengan realitas lingkungannya (Muhadjir, 1996: 165).

Menurut Moulton dan Atmazaki (1996: 21) bahwa unsur yang menbangun puisi lama yaitu unsur fisik dan unsur mental atau batin. Unsur fisik adalah segala hal yang dapat dilihat jika puisi itu ditulis dan segala hal yang dapat didengar jika puisi itu dibacakan, seperti tipografi, bunyi, bentuk kata-kata. Sedangkan unsur batin atau mental unsur yang tidak dapat dilihat, seperti arti atau makna gaya bahasa, kata konkret.

2.3    Mantra
pada dasarnya, mantra adalah ucapan yang tidak perlu dipahami, sehingga ia kadang-kadang tidak dipahami karena ia lebih merupakan  permainan bunyi dan bahasa belaka. Sebagai sebuah mantra, ia mestinya mempunyai sifat-sifat yang yang ada pada sebuah mantra, bahasa sebuah mantra bersifat esoterik yang tidak mudah dipahami, bahkan mungkin tidak mempunyai arti nominal.

Mantra adalah karya sastra lama yang dianggap sebagai puisi tertua di Indonesia, yang berisi pujian-pujian terhadap sesuatu yang gaib ataupun sesuatu yang dianggap harus dikeramatkan seperti dewa-dewa, roh-roh, binatang-binatan, ataupun Tuhan, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang. Dalam kamus, istilah sastra (1986:58) Sudjiman mengatakan bahwa mantra mengandung tantangan atau kutukan terhadap sesuatu kekuatan gaib dan dapat berisikan bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan (dikutip dari skripsi salah satu mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia “Bhatata Sebagai Salah Satu Pelengkap Mantra Masyarakat Lalole”).

Mantra adalah puisi magis, yang merupakan alat untuk mencapai tujuan dengan cara yang luar biasa. Apabila dalam hidupnya orang menemui permasalahan yang tidak dapat dipecahkan melalui akan dan pikiran, maka mereka akan mempergunakan alat lain yaitu mengucapkan manta-mantra, dengan mengharapkan tujuan akan tercapai (dikutip dari skripsi salah satu mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia yang berjudul “Bhatata Sebagai Salah Satu Pelengkap Mantra Masyarakat Lalole”).
Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmah  kekuatan gaib, yang biasanya hanya diucapkan oleh pawang. Kesalahan dalam pengucapan mantra dianggap dapat mendatangkan bahaya atau malapetaka.

2.3.1    Pengertian Mantra Menurut Para Ahli
1.    Mantra ditujukan kepada makhluk gaib, maka kalau dihadapkan pada manusia itu menjadi sesuatu yang tidak dipahami atau sesuatu yang misterius (Yunut, 1981: 213-216).
2.    Mantra merupakan bentuk puisi lama yang mempunyai atau dianggap dapat mendatangkan kekuatan gaib yang biasanya diajarkan atau diucapkan oleh pawing untuk menandingi kekuatan yang lain (Suprapto, 1993: 48).
3.    Mantra merupakan suatu gubahan bahasa yang diresapi oleh kepercayaan kepada dunia gaib dan sakti (Djamaris, 1990: 20).
4.    Mantra adalah perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib, susunan kata yang berunsur puisi (rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (depdikbud, 1997: 558).
5.    Mantra sapat mengandung tantangan atau kekuatan terhadap suatu kekuatan gaib dan dapat juga berisi bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan (Kamus Istilah Sastra, 1986: 85, yang diucapkan oleh Panuti Sujiman).
6.    Mantra adalah unsur irama yang berpola tetap dan yang perwujudannya dapat berupa pertentangan yang berselang-seling antara suku yang panjang dengan suku yang pendek, atau suku yang beraksen dan kata yang tidak beraksen (kamus sastra Indonesia, 1991: 79).
7.    Mantra adalah kata-kata yang mengandung gaib yang biasanya diucapkan oleh seotang pawing (Ema Husnan, dkk).

Demikianlah beberapa pengertian mantra yang dikemukakan para ahli. Dari beberapa pengertian tersebut, telah memberi pemahaman bagi kita bahwa mantra itu berupa ucapan atau perkataan yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Namun demikian, di dunia modern ini tidak semua ucapan-ucapan mantra itu terbukti kebenarannya. Hal ini disebabkan oleh kondisi manusianya.

2.3.2    Tahap Pemahaman Makna Mantra
Untuk memahami suatu karya sastra yang ditulis oleh pengarang dalam mantra diucapkan oleh penghayatannya atau komentator dalam keterikatan dan keterbatasan konvensi sastranya sifat sinkronik dan keanoniman pengarang, maka studi strukturnya yaitu pendekatan objektif kiranya paling relevan untuk diterapkan (Sardjono, 1990). Dalam struktur, unsure-unsur tidak mempunyai makna sendiri-sendiri, namun maknanya ditentukan oleh saling hubungannya dengan unsure-unsur lainnya dan keseluruhan atau totalitasnya (Hawkes dalam Pradopo, 1991), strukturalisme yang menekankan ekonomi karya sastra terdapat beberapa kelemahan, antara lain:’
(1)    Melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra
(2)    Melepaskan karya sastra dari rangka social budayanya (Teeuw, 1984: 139-140).

Kiranya strukturalisme semiotik relative memadai untuk menganalsis makna mantra. Pendekatan semiotik, memandang karya sastra sebagai system tanda dan merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain: signifiant (Penanda) dan signifie (petanda) (teeuw, 1984: 44). Menurut Pierce, sesuatu hanya bias jadi tanda atas dasar sesuatu, yang dinamakan ground, semacam dasar pemikiran atau konsep pemikiran (Sardjono, 1990). Tanda-tanda ini memegang peranan penting dalam proses komunikasi. Kalau proses komunikasi berjalan dengan baik, pengirim tanda mencapai penerima tanda yang di dalam pikirannya terjadi suatu kenyataan (denotatum). Setelah itu, terjadi pembentukan tanda baru di dalam pikiran si penafsir. Tanda baru itu dalam semiotik disebut interpretant (Zoest, 1990: 3).

Menurut Pierce, ada tiga macam cara sebuah tanda menunjukkan denotatumnya, jika melalui kemiripan tanda yang bersangkuta berupakan ikon, jika tanda merujuk denotatumnya atas dasar hubungan kontiguitas merupakan indeks, dan jika tanda merujuk denotatumnya melalui konvensi merupakan symbol (dalam Zoest, 1990: 8-9).

Adapun makna menurut Aminuddin (1988: 7) yaitu penghubung bahasa dengan dunia luar. Selanjutnya Aminuddin membedakan pengertian makna menjadi tga tingkat, pertama makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar secara logis sehingga membuahkan proposisi yang benar, kedua makna menjadi isi dari sebuah bentuk kebahasaan, ketiga makna menjadi komunikasi yang mampu membuahkan hasil informasi tertentu.

Mantra telah melalui perjalanan kelisanan yang panjang. Selama perjalanan tersebut, terjadi perubahan dalam dirinya karena proses perjalanan kelisanannya, dan pergeseran di luar dirinya yaitu pergeseran social masyarakat penghayatannya, meliputi pergeseran nilai nilai, pergeseran kepercayaan, pergeseran bahasa baik bentuk maupun makna. Menurut Semi (1988: 154), “bentuk puisi tradisional tertua adalah mantra. Bahasa mantra tidak mudah dipahami, bahkan mungkin tidak punya arti dalam ukuran pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi”.

Mantra diucapkan oleh subyek lirik (penghayatan) kepada tokoh yang diseru (keberadaan tokoh ini merupakan nonfiksi, kenyataan yang berada dalam alam pikiran manusia) apa-apa yang diucapkan tidak diharapkan jawabannya (apostrof) secara verbal namun diharapkan jawabannya berupa kekuatan magis. Mantra diucapkan penghayatan tidak keras, walaupun terdengar pendengar pada umumnya tidak membentuk interpretan pada pikirannya. Walaupun begitu, tetap bahasa mantra bermakna. Untuk pemahaman makna mantra, selain mempertimbangkan bahasa arkhaik yang telah mengalami pergeseran kelisanan, social masyarakan dan kepercayaan penghayat dalam perjalanan mantra bersangkutan harus menjadi pertimbangan pula. Penyisipan susunan bunyi/kata, frase, kalimat, bait dalam mantra ada dasarnya pemikiran dari penghayatnya.

Kelisanan dalam mantra memiliki kekhasan tersendiri, karena mantra oleh penghayatnya dianggap suci, memiliki kekuatan magis, tidak diucapkan secara sembarang, selalu dijaga kemurniannya, diturunkan dari penghayat ke penghayat berikutnya secara hati-hati. Keadaan seperti itu, tidak berarti terjaga dari perubahan, interpolation (proses kelupaan) terjadi juga dalam perjalanan karya lisan. Namun untuk penyuntingan kembali pada mantra ada kemudahan karena mantra merupakan untaian bahasa dengan irama yang teratur, estetika bunyi (rima) yang sangat baik dalam larik maupun antar larik dan diksi yang mntap dalam gaya tradisional. Keestetikaan tersebut memiliki fungsi pembantu ingatan (nemonic devise) bagi penghayat. Namun tidak mungkin pul menelusuri sesuai penciptaan pertama.

2.3.3    Mantra Sebagai Hasil Kesusastraan Lama
Salah satu jenis sastra Indonesia lama ialah mantra. Mantra itu tidak lain daripada gubahan suatu bahasa yang diresapi oleh kepercayaan kepada dunia yang gaib dan sakti. Gubahan bahasa dalam mantra itu mempunyai seni kata yang khas pula. Kata-katanya dipilih secermat-cermatnya, kalimatnya tersusun dengan rapi, begitu pula dengan iramanya. Isinya dipertimbangkan sedalam-dalamnya. Ketelitian dan kecermatan memilih kata-kata, menyusun larik dan menetapkan iramanya itu sangat diperlukan, terutama untuk menimbulkan tenaga gaib. Hal ini dapat kita pahami karena suatu mantra yang diucapkan tidak dengan semestinya, kurang katanya, salah lagunya, dan sebagainya, akan hilang pula kekuatannya, tidak akan menimbulkan tenaga gaib lagi. Sedang tujuan utama dari suatu mantra adalah menimbulkan tenaga gaib.

Alisjahbana (1952: 92) menggolongkan mantra ke dalam golongan bahasa berirama. Sedang bahasa berirama ini termasuk jenis puisi lama. Dalam bahasa berirama itu, irama bahasa itu sangat dipentingkan, terutama dalam mantra diutamakan sekali irama yang kuat dan teratur untuk membangkitkan tenaga gaib.

Mantra itu timbul adri suatu hasil imajinasi dalam alam kepercayaan animism. Mereka percaya kepada hantu, jin, setan, dan benda-benda keramat dan sakti. Hantu, jin, dan setan itu menurut anggapan mereka ada yang jahat yang mengganggu kehidupan manusia, tetapi ada pula yang baik yang membantu manusia waktu berburu, menangkap ikan dan sebagainya.

2.3.4    Mantr dan Masyarakat
Mantra adalah sesuatu yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari keyakinan dan kepercayaan. Terutama dalam masyarakat tradisional , mantra bersatu dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pawing atau dukun yang ingin menghilangkan wabah penyakit dapat dilakukan dengan membacakan mantra-mantranya. Dan masih banyak lagi kegiatan lain terutama yang berhubungan dengan adat biasanya didahului dengan mantra. Meneurut kepercayaan mereka bahwa dengan mengucapkian mantra itu kegiatan mereka akan sukses dan mempunyai berkah. Kebiasaan ini berlangsung secara turun temurun, dan sampai sekarang masih kita kita temukan dalam masyarkat terutama dalam masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, mantra sebagai karya yang lahir dari masyarakat maka keberadaanya tidak bias dipisahkan dari kehidupan masyarakat.

Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Artinya mantra tercipta dari masyarakat. Dengan kata lain, mantra tidak mungkin ada jika tidak ada masyarakat pewarisnya. Demikian pula masyarakat tradisional yang berpegang teguh pada adat istiadatnya tidak bias dipisahkan dari kehidupan mantra. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa mantra lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari keyakinan atau kercayaan. Kepercayaan adanya kekuatan gaib, selalu mendorong mereka untik merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhan.

2.3.5    Misteri dalam Mantra
Bahasa sebuah mantra bersifat esoteric, yang tidak mudah dipahami, bahkan mungkin tidak punya arti atau paling kurang tidak punya arti nominal. Yang penting bagi sebuah mantra bukanlah bagaimana orang dapat memahaminya, tetapi kenyataan dan kemanjurannya.

Kenyataan sebagai sebuah mantra menyarankan kita pada hal berikut. Pertama, ia tidak berhubungan dengan soal pemahaman sama sekali. Pada dasarnya, mantra adalah ucapan yang tidak perlu dipahami, karena ia lebih merupakan permainan bunyi dan bahasa belaka. Kedua, karena tidak ada soal pemahaman, menyebabkan ia mesti dilihat dari segi sudutnya sendiri atau kenyataan yang ada tentang kehadirannya, dan bukan tentang apa yang dibawanya.

Kemanjurannya sebagai sebuah mantra juga tidak meminta kita untuk memahaminya, tetapi yang ada hanyalah efek atau akibat dari kehdirannya dan dari penggunaannya.

Sebuah mantra pada dasarnya menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh misteri. Ia merupaka suatu alat dalam usaha membujuk dunia misteri, boleh dikatakan dunia gaib, juga barangkali untuk tidak melakukan sesuatu terhadap manusia tertentu, manusia yang mengucapkannya.

Sesuai denga sifatnya sebagai penghubung antara manusia dengan dunia misteri, ia sebenarnya mempunyai dua dunia yang berbeda. Padanya ada alam manusia dan alam misteri. Tidak ada persoalan tentang alam manusia, karena ia alam yang biasa bagi kita. Ini terlihat pada beberapa persoalan yang dikemukakan dalam mantra dan juga dengan penggunaan unsure bahasa yang dianggap dipunyai oleh manusia.

2.3.6    Mesosambakai
Salah satu jenis mantra yang dikenal oleh masyarakat Tolaki adalah mantra mesosambakai. Mesosambakai sebenarnya adalah suatu kegiatan memandikan bayi dalam suatu kelahiran anak pertama, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kegiatan memandikan bayi tersebut, digunakan mantra-mantra yang diyakini abgi masyarakat Tolaki. Mantra mesosambakai terdiri atas beberapa bentuk, yaitu mantra omanu (Ayak Kecil), mantra ni’isi (Kelapa bertunas), mantra opadi (kampak), mantra nabi baka (Bambu satu Tunas), serta mantra oloti (Padi/Beras).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1    Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif. Maksudnya, bahwa mantra mesosambakai dideskripsikan menurut apa adanya sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan.
3.2    Data dan Sumber Data
3.2.1    Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah teks mantra serta rekaman pada saat informan (dukun tentang mesosambakai) membacakan mantra mesosambakai. Pengambilan data ini sifatnya tidak alami. Artinya, peneliti tidak meneliti secara langsung pada pelaksanaan memandikan dalam suatu kelahiran (semacam upacara yang turun temurun dari masyarakat Tolaki setiap kelahiran anak pertama dalam sebuah keluarga).
3.2.2    Sumber data
Data penelitian ini bersumber dari informan di lapangan. Dengan kriteria informan adalah salah satu dukun atau pawang yang berkaitan dengan mesosambakai.
3.3    Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan metode penelitian dan sumber data, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut.
1.    Observasi, adalah teknik yang digubakan untuk mendengarkan tutran informan.
2.    Rekam, yaitu teknik yang digunakan untuk menyimpan data dengan menggunakan tape recorder.
3.    Catat, yaitu teknik yang digunakan untuk mencatat data dari informan yang dianggap masih memerlukan penjelasan.
4.    Wawancara, yaitu melakukan Tanya jawab dengan informan untuk memintai keterangan atau pendapatnya. Mengajukan pertanyaan langsung dan terarah untuk mendapatkan data-data yang diharapkan dan informan menjelaskan secara panjang.

3.4    Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah teknik struktural. Yang dimaksud dengan struktural di sini adalah mencakup susunan mantra mesosambakai yang dianalisis, kegiatan penelitian ini bersifat deskriptif yang berdasarkan analisis data yang diperoleh pemahaman yang mendalam mengenai struktur mantra mesosambakai, baik struktur fisik maupun struktur batin.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmawati, dkk. 2007. Sastra Lisan Tolaki. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Samsuddin. 2006. Realitas Sosial Dalan novel memburu fatamorgana karya
Helena koloway dan wuwun wiati S. Kendari: Universitas Halu Oleo (Skripsi)
Dewiyanti. 2007. Aspek Diktis dalam Novel Surat Kepada Langit Karya Husnul
Mujahid. Kendari: Universitas Halu Oleo (Skripsi).

2 komentar: