musik dalam blog

SMASH musersgfm.com Ada Cinta musersgfm.com – brought to you by mBoX Drive

Free Mp3 Uploads at mBoX Drive

Senin, 28 Oktober 2013






BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Karya sastra dalam berbagai bentuk selalu memeberi makna tentang kehidupan. Hal ini dimungkinkan, karena karena karya sastra merupakan gambaran kehidupan manusia. Karya sastra merupakan bagian dari seni yang mengandung unsur kehidupan yang menimbulkan rasa senang, nikmat, terharu, menarik perhatian, dan menyegarkan perasaan penikmat.
Sebuah cipta sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat (realitas-obyektif). Akan tetapi cipta sastra bukan hanya pengungkapan realitas obyektif itu saja. Di dalam karya sastra juga diungkapkan nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar realitas obyektif itu. Cipta sastra bukanlah semata-mata tiruan dari alam atau tiruan dari hidup akan tetapi ia merupakan penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (Ensten, 1987: 8).
Novel adalah tulisan berupa karangan prosa yang panjang dan menceritakan sebuah kisah, yang menggunakan bahasa yang bebas dan panjang tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi. Cerita yang terdapat dalam novel ini nantinya akan melahirkan suatu konflik yang mengakibatkan adanya perubahan nasib pelakunya.
Dalam karya sastra, khususnya novel, senantiasa menyuguhkan konflik-konflik yang dialami tokoh-tokohnya. Konflik ini disuguhkan dengan berbagai kondisi yang menyertai tokoh, yang dengan imajinasi atau daya khayal pengarang serta keadaan lingkungannya.
Analisis struktural sebuah novel diambil dari istilah pendekatan struktural yang dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme praha. Yang mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi liguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antarunsurnya. Masalah unsur dak hubungan antarunsur erupaka hal yang penting dalam pendekatan struktural.
Analisis struktural karya sastra dalam hal ini Novel, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur novel yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Setelah dijelaskan bagaimana fungsi-fungsi dari masing-masing unsur tersebut dalam menunjang makna keseluruhannya, dan bagaimana hubungan antarunsur itu sehingga secara bersama membentuk sebuah totalitas kemaknaan yang padu. Misalnya, bagaimana hubungan antara peristiwa yang satu dengan yang lain, kaitannya dengan pemplotan yang tak selalu kronologis, kaitannya dengan tokoh dan penokohan, dengan latar dan sebagainya.
Pada dasarnya, analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antaraberbagai unsur karya sastra yang secara bersama menhasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural tak cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaiman hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai.

1.2 Masalah
 Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Hasil  Analisis Struktural yang Kita Dapatkan dalam Novel Hakikat Karya M. Hilmi As’ad?”

1.3    Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut.
1.    Pembaca sebagai penikmat sastra akan lebih memahami unsur-unsur dalam sebuah novel utamanya unsur struktural novel.
2.    Bahan informasi bagi bahan peneliti lanjutan yang lebih relefan terhadap penelitian itu.
3.    Mampu melakukan analisis struktural terhadap karya sastra khususnya novel
4.    Sumbangan pemikiran terhadap bahan ajar sastra yang berkenaan dengan analisis struktural dalam karya satra khususnya novel.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1 Tokoh
Tokoh adalah pelaku dalam karya sastra dalam hal ini novel. Dalam karya sastra biasanya ada beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama.
Tokoh cerita (character), menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1994: 165), adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif. Atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sebagaimana kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi maka ia haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita atas perwatakan yang disandangnya. Jika terjadi seorang tokoh bersikap dan bertindak secara lain dari citranya yang telah dogambarkan sebelumya, dan karenanya merupakan suatu kejutan, hal ini haruslah tidak terjadi begitu saja melainkan harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi plot sehingga cerita tetap memiliki kadar plausibilitas. Atau, kalaupun tokoh itu bertindak secara aneh untuk ukuran kehidupan yang wajar maka sikap dan tindakannya haruslah tetap konsisten.
Nurgiantoro menjelaskan lebih lanjut bahwa pembagian tokoh dalam cerita dapat dilihat dari fingsi dan cara penampilannya. Berdasarkan funfsinya, tokoh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1)    Tokoh Sentral, adalah tokoh utama yang diceritakan dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi:
a.    Tokoh utama atau protagonis yakni tokoh yang memegang peran pimpinan. Ia menjadi sorotan dalam cerita.
b.    Tokoh antagonis yakni tokoh yang menentang protagonis.
c.    Tokoh wirawan/wirawati dan antiwirawan.
2)    Tokoh bawahan, adalah tokoh tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Tokoh bawahan dibedakan menjadi:
a.    Tokoh andalan, yakni tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan protagonis yang dimanfaatkan untuk memberi gambaran yang terperinci mengenai tikoh utama.
b.    Tokoh tambahan, yakni tokoh yang tidak memegang peran penting dalam cerita, misalnya tokoh lataran.

Berdasarkan cara penampilan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi:
1)    Tokoh datar/sederhana atau pipih, yakni tokoh yang hanya diungkapkan salah satu segi wataknya saja. Watak tokoh datar sedikit sekali berubah. Termasuk di dalamnya adalah tokoh stereofit.
2)    Tokoh bulat/kompleks atau bundar, yakni tokoh yang wataknya kompleks, terlihat kekuatan dan kelemahannya. Ia mempunyai watak yang dapat dibedakan dengan tokoh-tokoh yang lain. Tokoh ini juga dapat mengejutkan pembaca, karena kadang-kadang dalam dirinya dapat terungkap watak yang tidak terduga sebelumnya.

Dari segi kejiwaan dikenal tokoh introvert dan ekstrover. Tokoh introvert ialah pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh ketidaksadaran. Tokoh ekstrovert ialah pribadi tokoh yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal pula tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis ialah tokoh yang disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya. Tokoh antagonis ialah tokoh yang tidak disukai pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya pula.
Sami (1988: 12) mengemukakan bahwa ciri-ciri tokoh utama yaitu; (1) tokoh yang paling banyak terlibat dalam masalah pokok (tema) cerita, (2) tokoh yang banyak berinteraksi dengan tokoh lain, dan (3) tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama.
Beliau melanjutkan, tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa atau penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Realitas kehidupan manusia memang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehidupan tokoh cerita. Namun, haruslah disadari bahwa, hubungan antara tokoh fiksi dengan realitas kehidupan manusia tidak hanya berupa hubungan kesamaan saja, melainkan juga ada hubungan perbedaan. Tokoh manusia nyata memang memiliki banyak kebebasan, namun tokoh fiksi tidak pernah berada dalam keadaan yang benar-benar bebas. Tokoh karya fiksi hanyalah bagian yang terikat pada keseluruhannya, keseluruhan bentuk artistik yang menjadi salah satu tujuan penulisan fiksi itu sendiri.
Berdasarkan pengertian tentang tokoh yang telah diuraikan di atas ditambah dengan pengertian dari beberapa tokoh, maka dapat disimpulkan bahwa, tokoh adalah orang yang perperan dalam sebuah cerita fiksi, dimana tokoh ini terbagi menjadi beberapa jenis, tergantung dari penulis yang akan menempatkan tokoh yang satu pada jenis tokoh yang mana dan tokoh yang lainnya lagi pada jenis tokoh yang mana, dan begitu selanjutnya.

2.2 Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita  yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagaiunsur fiksi yang lain. Tinjauan struktural terhadap karya fiksi pun sering lebih ditekankan pada pembicaraan alur, walau mungkin mempergunakan istilah lain. Masalah lnearitas struktur penyajian peristiwa dalam karya fiksi banyak dijadikan objek kajian. Hal itu, misalnya, terlihat dalam kajian sintagmatik, dan kajian menurut pendekatan kaum formalis Reusia yang dipertentangkan (dan mencari kesejarahan) antara fabel dan sujet.
Forster (1970 (1927): 93) berpendapat bahwa alur adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Selain itu, beliau juga berpendapat bahwa alur sebuah karya sastra memiliki sifat misterius dan intelektual. Alur menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik ataupun mencekam pembaca. Hal itu mendorong pembaca untuk mengetahui kejadian-kejadian berikutnya. Namun, tentu saja hal itu akan dikemukakan begitu saja secara sekaligus dan cepat oleh pengarang, melainkan, mungkin saja, disiasati dengan hanya ditututrkan sedikit demi sedikit.
Oleh karena sifanya yang bersifat misterius maka untuk memahaminya diperlukan kemampuan intelektual. Tanpa disertai adanya daya intelektual, menurut Forster, tak mungkin orang dapat memahami alur cerita dengan baik. Hubungan antarperistiwa, kasus, atau berbagai persoalan yang diungkapkan dala sebuah karya, belum tentu ditujukan secara eksplisit dan langsung oleh pengarang. Menghadapi struktur narasi yang demikian, pembaca diharapkan mampu menemukan sendiri hubungan-hubungan tersebut. Untuk karya-karya tertentu yang tak tergolong berstruktur alur yang ruwet dan kompleks, pemahaman terhadap aspek itu mungki tidak sulit. Namun, tidak demikian halnya dengan karya-karya yang lain yang berstruktur sebalinya.
Abrams (1981:137) mengemukakan bahwa alur sebuah karya fiksi erupaka struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Penyajian peristiwa-perisriwa itu, atau secara lebih khusu aksi ‘actions’ tokoh baik yang  verbal maupun nonverbal, dalam sebuah karya bersifat linear, namun antara peristiwa-peristiwa yang dikemukakan sebelumnya dan sesudahnya belum tentu berhubungan langsung secara logis-bersebab-akibat. Pertimbangan dalam pengolahan struktur cerita, penataan peristiwa-peristiwa, selalu dalam kaitannya pencarian efek tertentu. Misalnya, ia dimaksidka untuk menjaga suspense cerita, untuk mencari efek kejutan, atau kompleksitas srtuktur.
Stanton ( dalam Nurgiantoro, 1994:133) mengemukakan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang sati disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan dari pada urutan waktu saja belum merupaka alur. Agar menjadi sebuah alur, peristiwa-peristiwa itu haruslah diolah dan disiasati dengan kreatif. Sehingga, hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang menarik dan indah, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi secara keseluruhan.
Alur setiap cerita berbeda-beda, namun pada dasarnya alur mengandung aspek-aspek seperti situasi awal, pengmbangan cerita, klimaks, dan penyelesaian. Memahami alur merupaka hal yang sangta penting karena dala setiap tahapanalur sebenarnya terkandung semua aspek yang berbentuk fiksi. Tahapan alur dibentuk oleh satu-satunya peristiwa. Setiap peristiwa selalu memiliki latar tertentu dan selalu menampilkan sesuatu tertentu pula.
Menurut Sami (1988: 45) alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam sebuah cerita yang disusun sebagai interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan-urutan bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur meruapakan perpaduan unsur yang membangun cerita.
Menurut Suharianto (1982: 28) alur adalah cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh.
Selanjutnya, Suharianto menyebutkan bahwa alur terdiri atas lima bagian, yaitu (1)
Pemaparan atau pendahuluan, yakni bagian cerita tempat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan yang merupakan awal cerita, (2) penggawatan, yakni bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak. Mulai bagian ini secara bertahap terasakan adanya konflik dalam sebuah cerita. Konflok itu dapat terjadi antara tokoh dan tokoh, antara tokoh dan masyarakat sekitar, atau antara tokoh dan nuraninya sendiri, (3) penanjakan, yakni bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik seperti yang disebutka di atas mulai memuncak, (4) puncak atau klimaks, yakni bagian yang melukiskan peristiwa sampai puncaknya, (5) peleraian, yakni bagian cerita tempat pengarang memeberikan pemecahan dari semua peristiwa yang telah terjadi dalam cerita atau bbagian.
Dilihat dari penyusunan bagian-bagian alur tersebut, alur cerita dapat dibedakan menjadi alur lurus, alur sorot balik (falsh back), dan alur campuran. Disebut alur lurus apabila cerita disusun mulai dari awal diteruskan dengan kejadian-kejadian berikutnya dan berakhir dengan pemecahan masalah. Apabila cerita disusun sebaliknya, yakni dari bagian akhir dan bergerak ke muka menuju titik awal cerita disebut alur sorot balik. Sedangkan alur campuran yakni gabungan dari sebagian alur lurus dan sebagian alur sorot balik tetapi keduanya dijalin dalam kesatuan yang padu sehingga tidak menimbulkan kesan ada dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah, baik waktu maupun tempat kejadian. (Suharianto 1982: 29).
Dalam sebuah alur cerita, ada yang namanya tahapan alur. Tahapan tersebut yakni:
1.    Tahap Awal. Tahap ini biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Misalnya berupa alam, waktu kejadiannya (misalnya ada kaitannya dengan waktu sejarah), dan lain-lain, yang pada garis besarnya berupa deskripsi setting. Selain itu, tahap awal juga sering dipergunakan untuk poengenalan tokoh-tokoh cerita, mungkin berwujud deskripsi fisik, bahkan mungkin juga telah disinggung (walau secara implisit) perwataknya.
Fungsi pokok tahap awal (pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memeberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelatar dan penokohan
2.    Tahap Tengah. Tahap ini dapat pula disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegang. Konflik yang dikisahkan itu dapat berupa koflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal, konflik atau pertentang yang terjadi antartokoh cerita, antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Pada tahap inilah konflik berkembang semakin meruncing, menegangkan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok, makna pokok cerita diungkapkan.
3.    Tahap Akhir. Tahap ini disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini bisa berisi bagaimana penyelesaian yang bersifat tertutup menunjuk pada keadaan akhir sebuah karya fiksi yang memang sudah selesai, cerita sudah selesai sesuai dengan tuntutan logika cerita yang dikembangkan. Sesuai dengan logika cerita itu pula para tokoh cerita telah menerima “nasib” sebagaimana peran yang disandangnya.

Selain tiga tahapan di atas, terdapat pula tahapan alur dalam rincian lain. Yakni:
1.    Tahap Situation (tahap penyituasian), tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupaka tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
2.    Tahap Generating circumstances (tahap pemunculan konflik). Pada tahap ini, masalah dan peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. tahap pertama dan kedua pada pembagian ini, tampaknya, berkesuaian dengan tahap awal pada penahapan seperti yang dikemukakan di atas.
3.    Tahap rising action (tahap peningkatan konflik). Pada tahap ini, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya kemudian berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi yang menjadi inti cerita semakin mencekam dn menegangkan. Konflik-konflik itu terjadi, internal, eksternal, ataupin keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masal, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.
4.    Tahap climax (tahap klimaks). Pada tahap ini, pertentangan yang telah terjadi pada tahap sebelumnya kini sampai pada puncak pertentangan itu sendiri. Kliomaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. Sebuah fiksi yang panjang mungkin akan memiliki lebih dari satu klimaks, atau paling tidak dapat ditafsirkan demikian.
5.    Tahap denouement (tahap penyelasian), tahap yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.

Dari berbagai uraian di atas, mulai dari pengertian alur menurut beberapa ahli, sampai dengan pembagian dari alur itu sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa alur adalah jalinan peristiwa secara beruntutan dalam cerita dengan memperhatikan hubungan sebab akibat sehingga cerita itu merupakan kesatuan yang padu, bulat dan utuh. Pada sebuah alur ada beberapa tahapan rangkaian peristiwa yang terjalin melalui satu kisah. Tahap tersebut pada intinya merupakan awal cerita, pertengahan yang memunculkan klimaks dan kemudian bagian akhir cerita yang merupaka selesaian dari sebuah klimaks.

2.3 Latar
Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, pada hakikatnya kita berhadapan dengan sebuah dunia, dunia dalam kemungkinan, sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun, tentu saja, hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman kedupannya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, di samping membutuhkan tokoh, cerita, dan alur, juga perlu latar.
Penggambaran suatu latar dalam cerita bersifat logis, pembaca akan merasakan keutuhan dan kenikmatan untuk dapat menentukan kualitas makna yang terkandung dalam cerita. Boleh jadi penempatan latar dapat membawa pembaca menuju kekaruan, apabila pengarang tidak mampu menyatukan dengan unsur-unsur lain. Kehadiran latar tidak dapat dipaksakan dalam pemilikannya, karena dapat menjadi penyebab untuk tidak tertariknya pembaca dalam membangkitkan daya minat baca sebuah karya sastra.
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkingan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981: 175).
Menurut Wiyanto (2005: 82) latar atau setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Selanjutnya, Nurgiantoro (1994: 217) menyebutkan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas.
Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah aungguh-sunggu ada dan terjadi. Setting bukan hanya menunjukkan tempat dan waktu tertentu tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada macam debunya, pemikiran rakyatnya, kegilaan mereka, gaya hidup mereka, kecurigaan mereka dan sebagainya (Sumardjo, 1986: 76).
Selain itu, Suharianto (1982: 33) mengemukakan bahwa latar disebut juga setting: yaitu tempat atau waktu terjadi cerita. Waktu terjadi cerita dapat semasa dengan kehidupan pembaca dan dapat pula sekian bulan, tahun, atau abad yang lalu. Tempat terjadinya peristiwa dapat di suatu desa, kantor, daerah, bahkan negara mana saja.
Wiyanto (2005: 82) menyebutkan bahwa latar atau setting mencakup tiga hal, yaitu setting tempat, setting waktu, dan setting suasana.
1)    Setting Tempat
Setting tempat adalah tempat peristiwa itu terjadi. Sebuah peristiwa dapat terjadi di halaman rumah, ruang tamu, di kamar belajar, atau demana saja.
2)    Setting Waktu
Setting waktu adalah kapan peristiwa itu terjadi. Sebuah peristiwa dapat saja terjadi pada masa sepuluh tahun yang lalu, zaman Majapahit, zaman revolusi fisik, atau zama sekarang.
3)    Setting Suasana
Peristiwa itu terjadi dalam suasana apa? Suasana ada dua macam, yaitu suasana batin dan suasana lahir. Yang termasuk suasana batin, yaitu perasaan bahagia, sedih, tegang, cemas, marah, dan sebagainya yang dialami oleh pelaku. Sementara yang termasuk suasana lahir ialah sepi (tak ada gerak), sunyi (tak ada suara), senyap (tak ada suara dan gerak). Romantis, hirukpikuk, dan lain-lain.

Sumardjo (1996: 76) juga menyatakan bahwa latar atau setting dalam prosa fiksi dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu: (1) latar alam (geography setting), yang di dalamnya menggambarkan tempat/lokasi peristiwa yang terjadi dalam alam ini, (2) latar waktu (temporal setting), di dalamnya menggambarkan kapa peristiwa itu terjadi, jam berapa, musin apa dan sebagainya, (3) latar sosial (social setting), di dalamnya menggambarkan lingkungan sosial mana peristiwa itu terjadi, dan (4) latar ruang (spatial setting), latar yang menggambarkan ruang peristiwa itu berlangsung, apakah di dalam kamar atau di ruang pesta, atau sebagainya.
Dari pendapat tersebut dapa disimpulkan bahwa latar (setting) adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar atau setting terbagi atas beberapa macam, yaitu latar waktu, tempat, (alam atau ruangan), suasana, dan latar sosial.

BAB III
METODE


3.1 Data dan Sumber Data
Data
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data tertulis berupa unsur yang menggambarkan struktur cerita dalam novel Hakikat karya M. Hilmi As’ad yang meliputi tokoh, alur, dan latar.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Hakikat karya M. Hilmi As’ad yang diterbitkan oleh Diva Press tahun 2009, tebal buku 366 halaman.
3.2 Teknik Analisis Data
Penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan structural  yaitu menelaah unsur-unsur struktur yang membangun dari dalam karya sastra. Pendekatan struktural memandang karya sastra sebagai suatu karya yang bersifat otonom dan dapat berdiri sendiri. Struktural dijelaskan melalui aspek intrinsik yang membangun karya sastra. Hal ini sesuai dengan masalah utama dalam analisis ini, yaitu struktur cerita dan konflik dalam novel Hakikat karya M. Hilmi As’ad. Dalam menggunakan pendekatan struktural, penganalisis mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan struktur cerita serta fungsi dan hubungan konflik sebagai obyek analisis dengan unsur intrinsik yang dianggap berhubungan erata dengan konflik-konflik yang ada dalam novel.
Selengkapnya, teknik analisis data yang dimaksudkan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1)    Identifikasi data, artinya data yang sudah ada diberi kode (tanda tertentu) sesuai dengan permasalahan penelitian
2)    Klasifikasi data, yaitu menhklasifikasikan atau mengelompokkan data berdasarkan ruang lingkup.
3)    Deskripsi data, yaitu pemaparan data yang telah ditafsirkan ke dalam bentuk paparan kebahasaan.
4)    Interpretasi data, yaitu penafsiran terhadap data yang telak dikelompokkan.


BAB IV
PEMBAHASAN


4.1 Tokoh Cerita dalam Novel Hakikat Karya M. Hilmi As’ad
Tokoh atau pelaku cerita dalam novel Hakikat karya M. Hilmi As’ad berdasarkan fungsi tokohnya dapat dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu tokoh utama, tokoh bawahan, tokoh antagonis, tokoh datar, tokoh bulat, dan tokoh tambahan.
4.1.1 Nama Tokoh dalam Novel Hakikat
Sebelum penulis mendeskripsikan fungsi dari beberapa jenis tokoh di atas, maka terkebih dahulu penulis akan memnyebutkan siapa-siapa saja tokoh yang terlibat dalam novel Hakikat karya M. Hilmi As’ad tersebut. Adapun nama-nama tokohnya sebagai berikut: Rona, Anita, Marham, Bu Sofi, Cak Ayub, Avin, Wahidin dan Tia, Aap, Pak umaro’, Om Salman, Tante Wanda, Lely, Handi, Ipul, Hilda, Bowo, Aryo, Mbah Mukrimin, Ustadz haibat, Mbah Fajar, Gus Nahrul, Anton, Pak Nabil, Shofi, H. Soleh, Mir’atul, Diana, febri, Wildan kholid, Man (pegawai willy), Afifa, Nanang Qosim, dan Bu Jihara.
4.1.2 Pembagian Fungsi Tokoh dalam Novel “Hakikat”.
a.    Tokoh Utama. Sugira Wahid (1997: 76) menyatakan bahwa tokoh utama adalah tpkoh yang memegang peranan utama dan menjadi pusat sorotan di dalam intensitas keterlibatannya dalam suatu cerita.
Shipley dalam Mardiyanto, dkk (2000: 6) menyatakan bahwa ciri tokoh utama adalah: (1) tokoh yang paling banyak terlibat dalam masalah pokok (tema) cerita, (2) tokoh yang banyak brinteraksi dengan tokoh lain, (3) tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Berdasarkan ciri tersebut maka yang dapat dikategorikan sebagai toko utama dalam Novel hakikat karya M. Hilmi As’ad adala Rona dan Marham. Rona dan Marhan dikategorikan sebagai tokoh utama karen Rona dan Marham adalah tokoh yang paling berperan penting dalam cerita novel tersebut.
b.    Tokoh Bawahan. Sugira wahid (1997: 76) menyatakan bahwa tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama. Berdasarka pengertian di atas, maka tokoh bawahan dalam novel Hakikat karya M. Hilmi As’ad adalah Anita, Bu Sofi, Cak Ayub, Avin, Wahidin dan Tia, Aap, Pak umaro’, Om Salman, Tante Wanda, Lely, Handi, Ipul, Hilda, Bowo, Aryo, Mbah Mukrimin, Ustadz haibat, Mbah Fajar, Gus Nahrul, Anton, Pak Nabil, Shofi, H. Soleh, Mir’atul, Diana, febri, Wildan kholid, Man (pegawai willy), Afifa, Nanang Qosim, dan Bu Jihara. Alasan mengapa tokoh cerita tersebut dikategorikan sebagai tokoh bawahan adalah karena tokoh-tokoh tersebut sangat diperlukan kehadirannya untuk menunjang dan membantu tokoh utama.
c.    Tokoh Antagonis. Tokoh ini adalah tokoh yang menentang tokoh protagonis atau tokoh utama. Berdasarkan isi novel yang telah dibaca oleh penulis, terlebih dengan hadirnya tokoh-tokoh cerita dalam novel tersebut dengan berbagai karakter yang mereka miliki, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh yang berperan sebagai tokoh antagonis adalah Aryo. Alasannya adalah karena tokoh Aryo adalah sosok yang yang tidak bisa menerima ketika dia ditinggalkan oleh seseorang dalam hal ini adalah Rona, sementara sebelumnya diaah yang mencampakkan Rona (tokoh utama).
d.    Tokoh Datar, yakni tokoh yang hanya diungkapkan salah satu segi wataknya saja. Watak tokoh datar sedikit sekali berubah. Berdasarkan pengertiannya maka tokoh datar yang terdapat dalam novel Hakikat karya M. Hilmi As’ad adalah Anita, Bu Sofi, Cak Ayub, Avin, Wahidin dan Tia, Aap, Pak umaro’, Om Salman, Tante Wanda, Lely, Handi, Ipul, Aryo, Mbah Mukrimin, Ustadz haibat, Mbah Fajar, Anton, Pak Nabil, Shofi, H. Soleh, Mir’atul, Diana, febri, Wildan kholid, Man (pegawai willy), Afifa, Nanang Qosim, dan Bu Jihara.
e.    Tokoh Bulat, yakni tokoh yang wataknya kompleks, terlihat kekuatan dan kelemahannya. Ia mempunyai watak yang dapat dibedakan dengan tokoh-tokoh yang lain. Tokoh ini juga dapat mengejutkan pembaca, karena kadang-kadang dalam dirinya dapat terungkap watak yang tidak terduga sebelumnya. Berdasarka pengertiannya maka tokoh bulat yang terdapat dala novel Hakikat karya M. Hilmi As’ad adalah Rona, Marham, Hilda, Bowo, Aryo, dan Gus Nahrul.


4.1.3 Karakter Tokoh Dalam Novel “Hakikat”
Setelah mendeskripsikan fungsi tokoh, maka sekarang penulis akan mendeskripsikan karakter dari masing-masing tokoh tersebut. Karakter tokoh adalah penggambaran tokoh melalui sifat-sifat, sikap, dan tingkah laku tokoh dalam cerita (Sumardjo dala Sugira. 1997: 76). Menurut Sugira Wahid (1997: 77) ada beberapa cara yang digunakan untuk memahami watak pelaku atau pribadi tokoh cerita, yaitu:
1.    Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya.
2.    Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian.
3.    Menunjukkan bagaimana perilakunya.
4.    Melihat bagaimana tokoh itu bercerita tentang dirinya sendiri.
5.    Memahami bagaimana jalan ceritanta.
6.    Melihat bagaimana tokoh lain bercerita tentangnya.
7.    Melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya.
8.    Melihat bagaimana tokoh-tokoh lain itu memberikan reaksi terhadapnya.
9.    Dan melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

Dalam novel “Hakikat”, M. Hilmi As’ad sebagai pengarang mengambarkan sifat-sifat, sikap, dan tingkah laku tokoh sebagai berikut:
1.    Karakter Tokoh Rona
Rona memiliki karakter yang ingin selalu bisa percaya pada kekasihnya. Bukti ini dapat dilihat pada penggalan novel ini pada halaman 67 yang menyatakan “ Rona tersenyum lagi mendengar nasihat teman barunya itu. Ia tak percaya Marham akan begitu akan mudah tertarik pada perempuan lain. Bagi Rona, Marham itu tipe lelaki yang setia, terlebih latar belakangnya sebagai penjaga masjid. Perilakunya sopan, tutr katanya lembut, akhlaknya pun mulia”.

Selain itu, dia pun adalah anak yang selalu mendoakan orang tuanya, hal ini terbukti ketika ibunya pulang dia pun mendoakan ibunya. Bukti tersebut dapat dilihat pada halaman 49, berbunyi “selamat jalan Ibu. Semoga kau selamat dalam perjalanan doakan aku yang kini harus terpisah denganm karena hendak mencari ilmu di daerah orang. Sungguh, saat ini aku merasa kehilangan kasih syangmu Ibu”.

Disamping kedua karakter tersebut, Rona pun memiliki karakteryang mudah  terpengaruh. Bukti tersebut terdapat pada halaman 237 yang berbunyi “ setelah berdiskusi di Masjid, Rona kian bersimpati kepada Ustadz Haibat. Perasaan wajar yang semula bertengger di hatinya kini menjadi getar perasaan yang istimewa. Ada salut dan kagum  yang terselip di bilik hati Rona. Diam-diam, ia mulai membanding-bandingkan Ustadz Haibat dengan sosok kekasih sejatinya, Marham.”

2.    Karakter Tokoh Marham
Memiliki karakter yang mudah jatuh cinta pada wanita lain. Hal ini terbukti pada penggalan cerpen ini pada halaman 149 yang berbunyi “ Entahlah. Mengapa sejak mengenal Hilda, Marham malas menghubungi Rona. Sejujurnya, Hilda memang begitu menarik perhatian lelaki, bahkan sanggup mengisi lamunannya yang selama ini tercurah hanya untuk Rona. Bukan berarti Marham tak lagi mencintai Rona. Hanya saja, pacaran jarak jauh mulai menjenuhkan.”

3.    Karakter Tokoh Anita,
Memiliki karakter yang setia kawan. Hal ini dapat dibuktikan dari isi novel ini pada halaman 149 yang berbunyi “ waduh, aku nggak enak Hil. Dia itu pacar teman akrabku”.
Dan halaman 262 yang berbunyi “Marham menarik napas panjang. Pikirannya tiba-tiba melayang jauh ke Angkasa. Mengingat Rona nun jauh di sana. Namun, sebentar kemudian, wajah Rona menghilang, tergantikan oleh paras ayu dara yang kini berada di dekat Marham.
Entahlah. Mengapa sejak mengenal Hilda, Marham malas menghubungi Rona. Sejujurnya, Hilda memang begitu menarik perhatian lelaki itu, bahkan sanggup mengisi lamunannya yang selama ini tercurah hanya untuk Rona. Bukan berarti Marham tak lagi mencintai Rona. Hanya saja, pacaran jarak jauh mulai menjenuhkan.”

4.    Karakter Tokoh Bu Sofi
Memiliki karakter yang selalu ingin membuat anaknya bahagia dan selalu manesahati anaknya untuk kebaikan. Bukti dari karakternya itu terdapat pada halaman 49 yang berbunyi “Selamat tinggal, Anakku. Semoga engkau rela berpisah denganku, seperti aku ikhlas melepasmu untuk menuntut ilmu. Ingatlah anakku, aku selalu berdoa untukmu. Semoga kau selalu mendapat perlindingan dari Sang Maha Kuasa. Semoga kau selalu mendapat petunjukNya di mana pun kau berada. Amiiin.”

5.    Karakter Tokoh Cak Ayub
Memiliki karakter selalu membantu orang lain. Hal tersebut dapat dilihan pada penggalan novel ini di halaman 19 “Di rumah Cak Ayub yang berjarak sekitar lima rumah dari rumah Rona, gadis itu segera mengutarakan maksudnya. Cak Ayub tanpa basa-basi langsung bersiap menuju rumah Rona.”

6.    Karakter Tokoh Avin
Memiliki karakter yang sama dengan Cak Ayub. Hal ini terbukti ketika ia diajak oleh Cak Ayub untuk membantu Cak Ayub memperbaiki antena tv Rona, dia pun langsung bersedia”.

7.    Karakter Tokoh Aryo
Memiliki karakter jika dia menginginkan sesuatu maka harus terpenuhi. Dan jika tidak, dia akan menggunakan cara apa saja, termasuk cara yang tercela sekalipun seperti berdukun. Dan inilah cara yang dilakukannya ketika ingin meraih kembali cinta Rona. Bukti karakter tersebut dapat dilihat pada halaman 74 “Bagaimana sih Mbah Dukun Mukrimin itu? Kenapa tak ada tanda-tanda Rona mau kembali? Apa jampi-jampinya tidak manjur, Wo?”

Selain karakter di atas, dia pun memiliki karakter tidak mau mengikuti nasihat baik dari orang lain. “apanya yang lain, Wo? Percuma sembahyang kalau tetap kere.”

8.    Tante Wanda
Memiliki karakter selalu memberi nasehat, baik. Hal ini terbukti dari isi penggalan novel tersebut berbunyi “Jadi, kamu jangan hanya mengandalkan kecantikanmu saja, Na. Andalkan kemampuan intelektual dirimu! Jangan lupa andalkan juga akhlaqul karimah yang kamu miliki!”

9.    Karakter Tokoh Om salman
Memiliki selalu menasehati tentang kebaikan. Bukti karakternya itu terdapat pada halaman 44, yang berbunyi “Pokoknya, hati-hati saja, Na. Harus ada rem yang kuat. Kalau kebablasan, nanti ya nubruk. Tapi, lebih baik nggak usah pacaran daripada mendekati dosa! Sulit memang. Tapi, justru sulitlah yang nanti akan membawa kemudahan.”

10.    Karakter Tokoh Bowo
Memiliki karakter yang setia, dalam hal ini setia pada majikannya. Bukti karakternya itu terdapat pada halaman 74, yang berbunyi “sudahlah, Bos! Kalau memang masih mencintai Rona, berarti itu satu-satunya jalan untuk mewujudkan impian Bos agar jadi kenyataan.”

11.    Karakter tokoh Mbah Mukrimin
Memiliki karakter ingin membantu orang lain. Misalnya, ketika orang lain membutuhkan bantuannya tentang hal percintaan maka dia akan membantu meskipun caranya itu bukanlah cara yang tepat. Bukti karakternya itu terdapat pada halaman 82, yang berbunyi “Jangan khawatir! Semua masih bisa diatasi. Mumpung sekarang mereka berdua belum terlalu akrab, kita harus segera bertindak.”

12.    Karakter Tokoh Gus Nahrul
Seseorang yang memiliki karakter gemar mebantu orang lain untuk mendapatkan kembali cintanya, namun caranya itu lain dari dukun yang kebanyakan. Dia menggunakan cara yang lain. Saat memberikan bantuan kepada orang lain, dia mngarahkan orang lain tersebut ke arah yang baik. Bukti karakternya itu terdapat pada halaman 105, yang berbunyi “doa ini harus dibaca setelah shalat lima waktu. Jangan sampai lupa! Kamu haru membacanya dengan istiqomah”.

13.    Karakter Tokoh Mbah Fajar
Memiliki karakter sifat yang sombong. Bukti karakternya itu terdapat pada halaman 116, yang berbunyi “Itu sudah jelas, Nak. Kalau istrinya banyak, apalagi cantik semuanya, itu pertanda bahwa iatak sulit untuk mencari wanita buat dirinya sendiri. Dan, tentu saja akan mudah mencarikan orang lain yang minta tolong padanya. Lha, kalau nyari buat dirinya sendiri saja nggak bisa, apalagi kalau belum menikah, bagaimana bisa mencarikan untuk orang lain? Iya, kan?
14.    Karakter tokoh Ustadz Haibat
Seseorang yang selalu bersikap optimis tentang apa yang diinginkannya, hal ini terbukti ketika dia menginginkan rona, maka dia pun selalu optimis bahwa Rona akan bisa menerimanya.

Selain karakter di atas, dia pun memiliki karakter yang hanya mau mencintai yang menurutnya sempurna, tanpa cacat sedikitpun. Karakter ini terbukti ketika ada wanita yang disukainya, namun ketika wanita yang disukainya itu terlihat sifat tercelanya, maka dia pun akan meninggalkan wanita itu.

15.    Karakter Tokoh Handi
Humoris, mudah jatuh cinta. Hal ini terbukti ketika dia bertemu dengan Anita, maka diapun langsung merasakan ada simpati pada Anita.

16.    Karakter Tokoh Ipul
Humoris. Tingkat persahabatannya tinggi.

17.    Karakter Tokoh Lely
Memiliki karakter  sifat selalu mempengaruhi orang lain. Hal ini terbukti ketika dia mengatakan pada Rona untuk tidak terlalu mencintai pacar, apalagi jika dia jauh di mata, Rona pun sedikit terpengaruh oleh kata-katanya.

18.    Karakter Tokoh Tono
Suka menyemangati. Hal ini terbukti ketika Ustadz Haibat merasa bahwa dia tidak pantas untuk Rona karena Rona sudah punya kekasih, maka Tono pun mengatakan pada Ustadz Haibat bahwa Rona kan masih pacaran, berarti masih ada kesempatan untuk Ustadz Haibat untuk mendekati Rona.

19.    Karakter Tokoh Hilda
Memiliki karaktr sifat mudah menaruh simpati pada seseorang, hal ini terbukti ketika dia mengenal Marha, maka tidak membutuhkan lama baginya untuk menyukai lelaki itu.

Selain karakter di atas, dia pun memiliki karakter untuk tidak tega merebut kekasih orang lain meskipun itu menyakitkan baginya, hal ini terbukti ketika dia mecintai Marham namun dia tahu bahwa Marham telah memiliki kekasih, maka dia rela menahan perasaannya.

20.    Karakter Tokoh Nanang Qosim
Setia kawan. Hal ini terbukti ketika Marham pergi ke rumahnya, dia pun melayani Marham dengan sangat baik, sama ketika mereka masih bersahabat dulunya.

21.    Bu Jihara
Baik pada siapa sj.

22.    Man
Patuh pada atasan.


4.2 Alur Cerita dalam Novel Hakikat Karya M. Hilmi As’ad
4.2.1 Sekuen
1. Rona dan Anita memandang keindahan mentari senja hari.
2. pemandangan indah itu mengingatkan Rona pada masa lalu.
3. Anita membayangkan kebersamaan dengan Aryo.
4. Anita bertanya pada Rona
5. Rona menjawab pertanyaan Anita
6. Anita dan Rona menyantap Bakso
7. Rona memandang sungai dengan hati damai
8. Rona memperhatikan para nelayan
9. Anita dan Rona bercerita tentang kehidupan dan tuntutannya.
10. Rona berkata, hidup harus seimbang.
11. Anita bertanya bagaimana rasanya pacaran jarak jauh.
12. Rona menjawab pertanyaan Anita.
13. Rona dan Anita membahas tentang pacaran jarak jauh Rona dan Marham.
14. Rona dan Anita bercerita tentang Wahidin dan Aditya.
15. Anita menanyakan Aryo pada Anita.
16. Rona mendadak memasang wajah benci ketika mendengar nama Aryo disebut.
17. Rona bertanya pada Anita kenapa Anita tidak pacaran.
18. Anita menjawab pertanyaan Rona.
19. Rona bangga dengan sikap Anita yang teguh pada pendirian.
20. Anita dan Rona pulang ke rumah masing-masing.
21. Sampai rumah Rona langsung mengambil air wudhu.
22. Setelah shalat Rona langsung merebahkan tubuhnya ke Kasur.
23. Ibu Rona pulang dari Masjid.
24. Ibu Rona bertanya pada Rona apakah Rona sudah makan.
25. Rona menjawab pertanyaan Ibunya bahwa Ia belum makan.
26. Rona ke rumah Cak Ayub untuk meminta bantuannya.
27. Cak Ayub bersedia membantu Rona.
28. Cak Ayub ke Rumah Rona.
29. Cak Ayub dan Avin meemperbaiki antena TV Rona.
30. Setelah memperbaiki antena TV Rona, Cak Ayub dan Avin diajak makan oleh Rona.
31. Setelah makan, mereka duduk-duduk sambil bercerita tentang Wahidin dan Adit.
32. Cak Ayub mengisap rokok.
33. Rona menasehati Cak Ayub agar tidak merokok.
34. Cak Ayub tidak menghiraukan nasehat Rona.
35. Bu Sofi mempersiapkan kayu bakar untuk menanak nasi yang sebentar akan dijualnya.
36. Rona menyiram Bunga.
37. Rona ke sekolah untuk melihat hasil yang dicapainya selama tiga tahun bersekolah di SMA.
38. Rona dan Anita berkerumun bersama murid-murid yang lain.
39. Kepala Sekolah mengajak semua murid dan jajaran guru untuk bersyukur.
40. para guru bediri di atas pentas untuk disalami oleh semua siswa yang baru saja lulus.
41. Semua murid meninggalkan sekolah.
42. Rona dan Anita berkonsultasi dengan Pak Umaro’, guru Bahasa Inggris
43. Pak Umaro’ menanyakan kemana Rona dan Anita akan lanjut ke Universitas mana.
44. Rona dan Anita menjawab pertanyaan Pak Umaro’
45. setelah berkonsultasi dengan pak Umaro’, Rona dan Anita pun pulang.
46. Rona bersiap-siap berangkat ke Jogja diantar oleh ibunya, Bu Sofi.
47. Rona dan Bu Sofi ke Terminal.
48. Rona dan Bu Sofi sampai ke Jogja.
49 Rona dan Bu Sofi dijemput oleh Om Salman dan tante Wanda.
50. Om salman mengajan Rona dan Bu Sofi untuk pergi makan dulu sebelum pulang ke rumah Om salman.
51. Om Salman, Tante Wanda, dan Bu Sofi bercerita tentang perubahan kota Jogja.
52. Tante Wanda bertanya pada Rona apakah Rona akan betah tinggal di Jogja.
53. Rona menjawab bahwa Ia belum bisa menjamin apakah dia akan betah atau tidak.
54. Om Salman meyakinkan bahwa Rona pasti akan betah tinggal di Jogja.
55. tante Wanda berkata, kalau Rona tidak betah pasti ada alasannya, alasannya itu mungkin karena rona sudah punya kekasih di Mojokerto.
56. Rona hyanya tersipu mendengar peryataan Tante wanda, Dia pun membayangkan Marham, Kekasihnya.
57. Rona, Bu Sofi, Om Salman, dan Tante Wanda pulang ke rumah.
58. Tante Wanda mengenalkan lely pada Rona.
59. Bu Sofi pulang ke Mojokerto.
60. Bu Sofi menasehati Rona sebelum Ia naik kereta.
61. Bu Sofi berangkat dengan doa untuk anaknya disertai deraian air mata.
62. Rona melepas kepergian ibunya dengan mendoakan ibunya namun air matanya tak bisa ditahannya.
63. Tante wanda dan Om Salman mengajak Rona untuk pulang ke rumah.
64. Lely mengantar Rona berkeliling Jogja.
65. Marham ke Mall bersama teman-temannya.
65. Marham bertemu dengan Anita.
66. Marham, Anita, Handi, Ipul, dan Hilda bercakap-cakap.
67. Marham, Handi, dan Ipul ke Toko buku.
68. Anita dan Hilda mencari baju.
69. anita mngirim sms pada Rona.
70. Rona membalas sms Anita.
71. Rona dan Anita membahas masalah pertemuan Anita dan Marham di Mall
72. Lely heran kenapa Rona senyum-senyum.
73. Rona memperlihatkan SMS Anita.
74. Lely mengetahui kalau Rona sudah punya kekasih.
75. Lely menasehati Rona agar hati-hati kalau pacaran jaraj jauh.
76. Rona mendengarkan nasehat Lely.
77. Aryo kecewa berat, karena harapannya untuk kembali memiliki Rona belum kesampean.
78. Aryo memanggil Bowo, sopirnya.
79. Bowo menghampiri Aryo.
80. Aryo bertanya pada Bowo, mengapa dukun yang dimintanya untuk mengembalikan Rona padanya belum juga ada hasil.
81. Ayo


DAFTAR PUSTAKA



Arya, Putu. (1983). Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah.
Riyanto,Slamet. 2005. Pengantar Teori Sastra. Malang:________. ____________. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang.
Riyanto,Slamet. 2005. Pengantar Teori Sastra. Malang:________.
___________. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang Puisi: Definisi Unsur-Unsurnya.___:

Kamis, 24 Oktober 2013

Analisis Struktur Mantra Mesosambakai sebagai puisi Lama di Desa Matabubu Jaya Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Sastra lama disebut juga sastra Nusantara atau sastra daerah yang kini tersebar di sekuruh Nusantara dalam jumlah yang cukup besar. Bahasa-bahasa daerah di Nusantara masih memiliki sastra lama yang masih tersimpan dalam bahasa-bahasa daerah yang umumnya berbentuk lisan. Sastra lama ini terancam kepunahannya disebabkan kurangnya perhatian masyarakat akibat nilai-nilai dan sikap hidup yang telah berubah. Fungsinya yang hidup berangsur-angsur menipis dan hilang. Hal ini seiring dengan perkembangan zaman yang selalu menggunakan logika berpikir dan membuktikannya dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam sastra lisan tentunya terdapat bermacam-macam bentuk, fungsi, dan jenis yang berbeda. Salah sastu jenis sastra lama adalah mantra. Mantra merupakan salah satu bentuk puisi lama dan dianggap sebagai bentuk puisi tertua di Indonesia (Badudu, 1994: 5-6).

Mantra sebagai bentuk puisi tentunya mempunyai ciri sebagaimana halnya dengan karya klasik lainnya, antara lain tidak memiliki nama pengarang (anonim). Itulah sebabnya mantra dikatakan sebagai salah satu jenis puisi tertua. Penyebaran sastra lama termasuk mantra berlangsung secara lisan dengan menggunakan system yang ketat.

Mantra mesosambakai salah satu bentuk mantra yang digunakan untuk mewujudkan regenerasi ketika seorang anak dilahirkan. Mantra mesosambakai merupakan bentuk mantra yang mengharapkan seorang anak tumbuh sehat, jauh dari marabahaya, dan kelak menjadi pengganti atau pelanjut keturunan yang berbudi pekerti luhur dan bertanggung jawab dalam keluarganya.

Mantra mesosambakai ini merupakan salah satu jenis mantra yang digunakan oleh masyarakat yang baru saja dikaruniai keturunan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat ketika menyambut kelahiran anak pertama. Dengan harapan anak tersebut dapat tumbuh sehat dan jauh dari mara bahaya serta kelak bias menjadi pengganti atau pelanjut keturunan yang berbudi pekerti yang luhur daan bertanggung jawab dalam keluarganya.
Keberadaan mantra mesosambakai kini semakin kurang dikalangan masyarakat Matabubu Jaya. Apalagi didukung oleh tidak adanya peneliti yang meneliti hal tersebut. Sehingga dikhawatirkan mantra mesosambakai ini akan menghilang di masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlulah kiranya mesosambakai ini untuk diteliti agar menjadi bahan bacaan generasi berikutnya.
1.2    Masalah
Masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana struktur mantra mesosambakai sebagai puisi tradisional yang ada di desa Matabubu Jaya Kabupaten Konawe Selatan?

1.3    Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan mendeskripsikan tentang struktur mantra mesosambakai yang ada di desa Matabubu Jaya Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan.

1.4    Manfaat Penelitian
Setelah proses penelitian ini selesai, diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Terutama bagi pembaca dan penikmat sastra serta dapat memberikan masukan bagi peneliti selanjutnya. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman para pembaca terhadap karya sastra. Sedangkan secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan respon bagi pada para pembaca dan penikmat sastra khususnya yang berhubungan dengan sastra klasik. 

BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Tinjauan tentang Sastra
2.1.1 pengertian Sastra
Secara umum sastra (Sansekerta: Shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta “Sastra” yang berarti teks yang mengandung intruksi atau pedoman dari kata dasar “Sas” yang berarti intruksi atau ajaran dan “tra” yang berarti alat atau sarana. Zulfahnur, dkk (1998:1) dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merajuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Istilah sastra telah dipergunakan oleh pakar-pakar sastra kita. Panuti Sudjiman (1986: 68) mengatakan bahwa sastra sebagai karya lisan atau tulisan ysng memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi, dan ungkapannya. Sedangkan menurut Semi (1988: 8)  sastra adalah suatu bentuk hasil pekerjaan seni kreatif.
Sejak zaman Plato, sastra digunakan untuk menjembatani fakta dengan fiksi, dan kenyataan dengan rekaan (Ratna, 2008: 218).

Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan social. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, menganggap karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, criteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran penggambaran, atau yang hendak digambarkan (http://izqiizmir.blogspot.com).

Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan bahasa sebagai medianya. Sastra sebagai refleksi dari kehidupan banyak mengandung nilai positif bagi penikmatnya. Kehadiran karya sastra bagi penikmatnya dapat memberi nuansa baru dalam hidup dan membuat penikmat itu memperoleh kesan untuk memperbaiki tingkah laku dalam hubungan antar sesame manusia dan Tuhannya (dikutip dari skripsi salah satu mahasiswa pend. Bahsa dan sastra Indonesia atas nama Paliama dengan judul skripsi “Fakta-fakta Cerita dan Aspek Didaktik yang Terkandung dalam Kumpulan Cerpen Cari Aku di Canti Karya Wa Ode Wulan Ratna”).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1230) disebutkan bahwa sastra antara lain mengandung:
1.    Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari);
2.    Kesusastraan, karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki berbagai cirri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama, epik dan lirik;

Rahmanto (1988: 10) mengatakan bahwa sastra adalah mengandung kumpulan dan sejumlah bentuk bahasa khusus yang digunakan dalam berbagai pola yang sistematis untuk menyampaikan segala perasaan dan pikiran. Sastra adalah tersusun dari bahasa dan dapat dipelajari lewat bahasa.

Menurut Hornby (Zulfahnur, dkk., 1996: 7) sastra adalah tulisan bernilai seni mengnai suatu objek khusus kehidupan manusia dalam suatu negeri pada suatu masa. Begitu pula dengan pendapat Jakob Sumardjo (Zulfahnur, dkk., 1996: 8) menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Dari sumber lain, peneliti juga menemui definisi tentang sastra yaitu Sastra adalah karangan lisan atau tulis yang memiliki keunggulan, keorsinilan, kemudian dalam isi dan ungkapan (Sudjiman, 1980: 71). Bertolak dari konsep tersebut, beberapa ahli memberi batasan tentang sastra, yaitu sebagai berikut.
1.    Sastra adalah sebuah  nama yang diberikan pada sejumlah hasil  tertentu dalam suatu kebudayaan (Luxemburg, 1985: 9).
2.    Sastra adalah karya tulis yang memiliki cirri-ciri keunggulan, seperti keaslian keartistikan, keindahan, isi dan ungkapannya, jika dbandingkan dengan karya tulis yang lainnya (Suprapto, 1993: 77).
3.    Sastra adalah merupakan pengungkapan dari fakta artistic dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (Esten, 1994: 9).

2.1.2 Sastra Lama
Pengertian kesusastraan lama sebenarnya masih mempunyai acuan yang sangat luas. Di dalamnya termasuk sastra yang fiktif dan nonfiktif. Rani (1996: 57) memberikan pengertian sastra lama adalah sastra yang lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu masyarakat yang masih sederhana dan terkungkung kuat oleh adat istiadat.

Ciri-ciri sastra lama, yaitu:
1)    Sangat terikat oleh kebiasaan adat istiadat,
2)    Tidak berani mengemukakan keaslian pribadi pengarangnya. Dalam karyanya, para pengarang 

sastra lama tidak mau membubuhkan nama aslinya atau tidak dipakai nama sama sekali atau anonim,
3)    Tergantung dan mengikuti kenyataan alam sekitar,
4)    Tema dan isi ceritanya berkisar pada tema-tema perjuangan antara sifat baik dan sifat buruk, dan
5)    Bersifat istana sentries atau berkisar pada kehidupan lingkungan istana.

2.1.3 Karya Sastra
Karya sastra merupakan tanggapan penciptanya terhadap dunia yang dihadapinya. Di dalam sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang, dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial). Dari tanggapan penciptanya terhadap dunia sekelilingnya yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, maka kiranya dapat dikatakan bahwa karya sastra merupakan pembayangan atau pencerminan realitas sosial.

2.1.4    Sastra Lisan
Budaya lisan secara etimologi berasal dari “oral Cultur”. Pembicaraan budaya lisan dipertentangkan dengan sastra lisan atau cerita rakyat yang pada umumnya berbentuk lisan. Muncul istilah sastra lisan yang merupakan terjemahan istilah bahasa asing yaitu oral literatur.

Yang dimaksud dengan sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi sastra warga suatu kebudayaan dan diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut (Danandjaja, 1997: 19). Selanjutnya, Atmazaki (1993: 82) bahwa sastra lisan adalah sastra yang disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut oleh seorang pencerita atau penyair kepada pembaca atau kelompok pendengar. Senada dengan hal tersebut, Arifin mengemukakan bahwa sastra lisan adalah sastra lama yang disampaikan secara lisan (dari mulut ke mulut), umumnya disampaikan dengan baik dengan musik tidak (1990: 3).

Sastra lisan merupakan merupakan suatu unsur kebudayaan yang sangat menonjol dalam daerah tertentu (setia, dkk. 1990: 3). Senada dengan hal tersebut, mantra mesosambakai yang menjadi objek penelitian ini terintegrasi pula dalam uraian sastra lisan tersebut. Kal ini karena mantra mesosambakai merupakan suatu unsur kebudayaan tertentu yang disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut.

Hutomo memberikan batasan bahwa sastra lisan adalah kesusasteraan yang mencakup ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaanyang disebarluaskan dan diturun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut. Shipley menjelaskan bahwa sastra lisan yang dituturkan dari mulut ke mulut, tersebar secara lisan, anonym, menggambarkan kehidupan masyarakat pada masa lampau (Gaff ar, 1990: 3). Eddy Setia, dkk  (1991: 3) menjelaskan bahwa sastra lisan adalah bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diwariskan secara turun temurun.

Hutomo (1983: 10-11) menjelaskan bahwa penggolongan sastra lisan terdiri atas:
1.    Bahan-bahan yang bercorak cerita, yaitu (1) cerita biasa, (2) mitos, (3) legenda, (4) epik, (5) memori, (6) cerita tutur,
2.    Bahan-bahan yang bukan cerita, yaitu (1) ungkapan, (2) nyanyian kerja, (3) peribahasa, (4) teka-teki, (5) puisi lisan, (6) nyanyian sedih pemakaman, (7) hokum adat, dan
3.    Bahan-bahan yang bercorak lakuan, yaitu (1) drama pentas, (2) drama arena.

Sehubungan dengan hal tersebut, Danandjaja (1997: 22) membagi sastra lisan dalam enam jenis yaitu sebagai berikut: (1) Bahasa rakyat seperti sindiran dan mantra, (2) ungkapan tradisional seperti pepatah, peribahasa, dan seloka,
(3) pertanyaan tradisional seperti teka-teki, (4) cerita rakya seperti mitos, legenda, dan dongeng, (5) puisi rakyat seperti pantun, syair, bidal, dan gurindam, (6) nyanyian rakyat.

Atmazaki (1968: 86) mengatakan bahwa fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut.
1.    Dengan sastra lisan, masyarakat atau nenek moyang umat manusia akan mengapresiasikan gejolak jiwanya dan renungannya tentang kehidupan emosi cinta yang diungkapkan lewat puisi-puisi sentimental, binatang buas dihadang dan dijinakkan dengan mantra-mantra, asal-usul daerah dengan bermacam-macam kearifan dicurahkan lewat berbagai mitos, dongen, fambo, dan riwayat termasuk di dalamnya permainan rakyat dan nyanyian sacral
2.    Sasta lisan berfungsi untuk mengungkapkan solidaritas dan menyegarkan pikiran serta perasaan. Anak dininabobokan dengan nyanyian, kelelahan bekerja ditemani dengan pantun, upacara-upacara agama disampaikan dengan pidato-pidato adat.
3.    Sastra lisan berfungsi untuk memuja raja, pemimpin dan orang-orang yang dianggap suci, keramat, dan berwibawa oleh kolektif tertentu.

Teeuw (1984: 304) mengemukakan fungsi sastra lisan dalam masyarakat bergerak dari fungsi estetik sampai kepada fungsi agama dan social. Fungsi sastra lisan menurut Teeuwk berwujud (1) afirmasi, yaitu menentukan norma-norma sosio budaya yang ada pada waktu tertentu, (2) restorasi, yaitu mengungkapkan keinginan, kerinduan pada norma yang sudah hilang atau tidak berlaku lagi, dan (3) negasi, yaitu memberontak atau mengubah norma yang berlaku.

2.2 Puisi Lama
Dalam dunia kesusastraan termasuk sastra lisan, puisi merupakan salah satu genre sastra yang intinya mengutamakan pemadatan isi dan mengungkapkan suatu keadaan dengan cara pensublimasian. Dalam hal pemberian definisi tentang puisi baik puisi lama maupun puisi modern sampai saat ini belum ditemukan batasan-batasan yang tepat dan memadai, karena konsep-konsep yang diajukan oleh para ahli selalu berorientasi pada pendekatan yang berbeda, yaitu struktur fisik dan struktur batin.

Pada umumnya, para ahli berpendapat bahwa yang dimaksud dengan puisi lama adalah semua bentuk puisi yang terikat oleh syarat-syarat tradisional seperti keterikatan jumlah baris dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap baris, berirama, mempunyai rima, bersifat komunal dan bersifat anonim.

Selaras dengan pernyataan tersebut, Sutarno (1967: 13) mengemukakan bahwa puisi lama adalah puisi yang terikat oleh syarat-syarat tradisional, yaitu keterikatan jumlah baris dalam sebait, jumlah suku kata dalam sebaris, susunan sajak secara vertical, hubungan baris-barisnya serta irama menurut pola tertentu. Dengan demikian, puisi lama mempunyai bentuk yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum isinya dibeberkan. Hal ini berarti puisi lama mementingkan bentuk daripada isi sehingga bentuknya sangat statis.

Pendapat serupa dikemukakan pula oleh Husnan (1986: 7) yang menegaskan bahwa puisi lama adalah puisi yang terikat oleh adanya aturan-aturan tertentu yang haarus dipatuhi oleh pengarang/masyarakat pemiliknya. Aturan-aturan yang dimaksud adalah (1) keterikatan jumlah baris dalam sebait, (2) jumlah suku kata dalam setiap baris, (3) mempunyai persajakan akhir pada tiap bait,
(4) mempunyai rima, (5) bersifat komunal.

Dari kedua pendapat tersebut, rupanya cenderung menampilkan atau merumuskan puisi lama dilihat dari segi cirinya bukan dari segi konsep atau definisi. Dengan demikian, berarti dapat dikatakan bahwa puisi lama mempunyai beberapa cirri yang dimilikinya, yaitu (1) yaitu terikat oleh jumlah baris dalam sebait, (2) terikat oleh jumlah suku kata dalam satu baris, (3) mempunyai persajakan, (4) pada umumnya dapat dilantunkan, (5) bersifat komunal, (6) bersifat statif, dan (7) bersifat anonim.
Pembagian puisi lama berdasarkan bentuknya menurut Ema Husnan (1986: 32) terdiri atas pantun, syair, gurindam, dan seloka. Selain bentuk puisi lama yang dikemukakan di atas, ada pula bentuk puisi lama yang lain, yaitu mantra, bidal, masnawi, rubai, kith’ah, nazam, dan gazal.

Dikutip dari skripsi salah satu mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia yang berjudul “mantra Pontasu Sebagai Puisi Tradisional di Desa Laeya Kabupaten Muna”, mengatakan bahawa puisi lama adalah pancaran masyarakat lama dan mempunyai ciri sebagai berikut.
1.    Merupakan masyarakat yang hidup bersama atau masyarakat gotong royong.
2.    Merupakan masyarakat buta huruf. Kalaupun ada tulisan, maka bagi mereka kepandaian tulis baca itu merupakan kepandaian istimewa dan hanya terbatas pada golongan cendekiawan atau para pujangga.
3.    Statis yaitu masyarakat yang setia dan mempertahankan sifat kekolotan (konsefatif) dan tradisional.

Usman (1963: 139) mengemukakan bahwa puisi lama merupakan bagian kebudayaan lama yang dipancarkan oleh masyarakat lama. Jadi, kalau kita hendak mengenal puisi lama itu, maka pertama kali mestilah mengenal kebudayaan dan masyarakat lama itu sendiri.

2.2.1 Ciri-ciri Puisi Lama
1.    Puisi lama pada umumnya merupakan puisi rakyat dan tidak dikenal pengarangnya (anonim). Hal ini juga disebabkan para pujangga tidak mau menonjolkan diri serta mengabadikan hasil karyanya kepada masyarakat sehingga menjadi milik bersama.
2.    Puisi lama pada umumnya disampaikan dari mulut ke mulut, sehingga menjadi sastra lisan. Setelah terdapat tulisan barulah kita jumpai puisi tertulis seperti syair dan gurindam. Namun karena belum dikenal teknik percetakan, maka hasil karya mereka itu tidak dapat dibaca oleh seluruh masyarakat.
3.    Puisi lama itu sangat terikat oleh syarat-syarat yang mutlak dan tradisional, yaitu jumlah baris dalam setiap bait jumlah suku kata dalam tiap baris, sajak serta irama.

2.2.2 Analisis Puisi lama
Analisis merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian itu untuk memperoleh pengertian yang tepat  dan pemahaman secara keseluruhan (Muliono, 1990: 32). Menganalisis sastra adalah penguraian karya sastra atas unsur-unsurnya untuk memahami pertalian atas unsur-unsur itu.

Analisis karya sastra secara struktural lebih menekankan pada ikonik (lukisan), simbolik (lambang), sehingga analisisnyapun perlu mencakup tiga unsur kajian, yaitu karya sastra itu sendiri, latar belakang pengarang, dan latar social sejarah masyarakatnya.
Analisis karya sastra mengikuti pandangan struktural ini mencakup dua hal penting, yaitu (1) karya sastra itu sendiri merupakan tampilan pikiran, pandangan, dan konsep dunia, dengan tanda-tanda yang mengandung makna, (2) analisis keterkaitan pengarang dengan realitas lingkungannya (Muhadjir, 1996: 165).

Menurut Moulton dan Atmazaki (1996: 21) bahwa unsur yang menbangun puisi lama yaitu unsur fisik dan unsur mental atau batin. Unsur fisik adalah segala hal yang dapat dilihat jika puisi itu ditulis dan segala hal yang dapat didengar jika puisi itu dibacakan, seperti tipografi, bunyi, bentuk kata-kata. Sedangkan unsur batin atau mental unsur yang tidak dapat dilihat, seperti arti atau makna gaya bahasa, kata konkret.

2.3    Mantra
pada dasarnya, mantra adalah ucapan yang tidak perlu dipahami, sehingga ia kadang-kadang tidak dipahami karena ia lebih merupakan  permainan bunyi dan bahasa belaka. Sebagai sebuah mantra, ia mestinya mempunyai sifat-sifat yang yang ada pada sebuah mantra, bahasa sebuah mantra bersifat esoterik yang tidak mudah dipahami, bahkan mungkin tidak mempunyai arti nominal.

Mantra adalah karya sastra lama yang dianggap sebagai puisi tertua di Indonesia, yang berisi pujian-pujian terhadap sesuatu yang gaib ataupun sesuatu yang dianggap harus dikeramatkan seperti dewa-dewa, roh-roh, binatang-binatan, ataupun Tuhan, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang. Dalam kamus, istilah sastra (1986:58) Sudjiman mengatakan bahwa mantra mengandung tantangan atau kutukan terhadap sesuatu kekuatan gaib dan dapat berisikan bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan (dikutip dari skripsi salah satu mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia “Bhatata Sebagai Salah Satu Pelengkap Mantra Masyarakat Lalole”).

Mantra adalah puisi magis, yang merupakan alat untuk mencapai tujuan dengan cara yang luar biasa. Apabila dalam hidupnya orang menemui permasalahan yang tidak dapat dipecahkan melalui akan dan pikiran, maka mereka akan mempergunakan alat lain yaitu mengucapkan manta-mantra, dengan mengharapkan tujuan akan tercapai (dikutip dari skripsi salah satu mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra Indonesia yang berjudul “Bhatata Sebagai Salah Satu Pelengkap Mantra Masyarakat Lalole”).
Mantra adalah kata-kata yang mengandung hikmah  kekuatan gaib, yang biasanya hanya diucapkan oleh pawang. Kesalahan dalam pengucapan mantra dianggap dapat mendatangkan bahaya atau malapetaka.

2.3.1    Pengertian Mantra Menurut Para Ahli
1.    Mantra ditujukan kepada makhluk gaib, maka kalau dihadapkan pada manusia itu menjadi sesuatu yang tidak dipahami atau sesuatu yang misterius (Yunut, 1981: 213-216).
2.    Mantra merupakan bentuk puisi lama yang mempunyai atau dianggap dapat mendatangkan kekuatan gaib yang biasanya diajarkan atau diucapkan oleh pawing untuk menandingi kekuatan yang lain (Suprapto, 1993: 48).
3.    Mantra merupakan suatu gubahan bahasa yang diresapi oleh kepercayaan kepada dunia gaib dan sakti (Djamaris, 1990: 20).
4.    Mantra adalah perkataan atau ucapan yang mendatangkan daya gaib, susunan kata yang berunsur puisi (rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain (depdikbud, 1997: 558).
5.    Mantra sapat mengandung tantangan atau kekuatan terhadap suatu kekuatan gaib dan dapat juga berisi bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan (Kamus Istilah Sastra, 1986: 85, yang diucapkan oleh Panuti Sujiman).
6.    Mantra adalah unsur irama yang berpola tetap dan yang perwujudannya dapat berupa pertentangan yang berselang-seling antara suku yang panjang dengan suku yang pendek, atau suku yang beraksen dan kata yang tidak beraksen (kamus sastra Indonesia, 1991: 79).
7.    Mantra adalah kata-kata yang mengandung gaib yang biasanya diucapkan oleh seotang pawing (Ema Husnan, dkk).

Demikianlah beberapa pengertian mantra yang dikemukakan para ahli. Dari beberapa pengertian tersebut, telah memberi pemahaman bagi kita bahwa mantra itu berupa ucapan atau perkataan yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Namun demikian, di dunia modern ini tidak semua ucapan-ucapan mantra itu terbukti kebenarannya. Hal ini disebabkan oleh kondisi manusianya.

2.3.2    Tahap Pemahaman Makna Mantra
Untuk memahami suatu karya sastra yang ditulis oleh pengarang dalam mantra diucapkan oleh penghayatannya atau komentator dalam keterikatan dan keterbatasan konvensi sastranya sifat sinkronik dan keanoniman pengarang, maka studi strukturnya yaitu pendekatan objektif kiranya paling relevan untuk diterapkan (Sardjono, 1990). Dalam struktur, unsure-unsur tidak mempunyai makna sendiri-sendiri, namun maknanya ditentukan oleh saling hubungannya dengan unsure-unsur lainnya dan keseluruhan atau totalitasnya (Hawkes dalam Pradopo, 1991), strukturalisme yang menekankan ekonomi karya sastra terdapat beberapa kelemahan, antara lain:’
(1)    Melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra
(2)    Melepaskan karya sastra dari rangka social budayanya (Teeuw, 1984: 139-140).

Kiranya strukturalisme semiotik relative memadai untuk menganalsis makna mantra. Pendekatan semiotik, memandang karya sastra sebagai system tanda dan merupakan kesatuan antara dua aspek yang tidak terpisahkan satu sama lain: signifiant (Penanda) dan signifie (petanda) (teeuw, 1984: 44). Menurut Pierce, sesuatu hanya bias jadi tanda atas dasar sesuatu, yang dinamakan ground, semacam dasar pemikiran atau konsep pemikiran (Sardjono, 1990). Tanda-tanda ini memegang peranan penting dalam proses komunikasi. Kalau proses komunikasi berjalan dengan baik, pengirim tanda mencapai penerima tanda yang di dalam pikirannya terjadi suatu kenyataan (denotatum). Setelah itu, terjadi pembentukan tanda baru di dalam pikiran si penafsir. Tanda baru itu dalam semiotik disebut interpretant (Zoest, 1990: 3).

Menurut Pierce, ada tiga macam cara sebuah tanda menunjukkan denotatumnya, jika melalui kemiripan tanda yang bersangkuta berupakan ikon, jika tanda merujuk denotatumnya atas dasar hubungan kontiguitas merupakan indeks, dan jika tanda merujuk denotatumnya melalui konvensi merupakan symbol (dalam Zoest, 1990: 8-9).

Adapun makna menurut Aminuddin (1988: 7) yaitu penghubung bahasa dengan dunia luar. Selanjutnya Aminuddin membedakan pengertian makna menjadi tga tingkat, pertama makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar secara logis sehingga membuahkan proposisi yang benar, kedua makna menjadi isi dari sebuah bentuk kebahasaan, ketiga makna menjadi komunikasi yang mampu membuahkan hasil informasi tertentu.

Mantra telah melalui perjalanan kelisanan yang panjang. Selama perjalanan tersebut, terjadi perubahan dalam dirinya karena proses perjalanan kelisanannya, dan pergeseran di luar dirinya yaitu pergeseran social masyarakat penghayatannya, meliputi pergeseran nilai nilai, pergeseran kepercayaan, pergeseran bahasa baik bentuk maupun makna. Menurut Semi (1988: 154), “bentuk puisi tradisional tertua adalah mantra. Bahasa mantra tidak mudah dipahami, bahkan mungkin tidak punya arti dalam ukuran pemakaian bahasa sebagai alat komunikasi”.

Mantra diucapkan oleh subyek lirik (penghayatan) kepada tokoh yang diseru (keberadaan tokoh ini merupakan nonfiksi, kenyataan yang berada dalam alam pikiran manusia) apa-apa yang diucapkan tidak diharapkan jawabannya (apostrof) secara verbal namun diharapkan jawabannya berupa kekuatan magis. Mantra diucapkan penghayatan tidak keras, walaupun terdengar pendengar pada umumnya tidak membentuk interpretan pada pikirannya. Walaupun begitu, tetap bahasa mantra bermakna. Untuk pemahaman makna mantra, selain mempertimbangkan bahasa arkhaik yang telah mengalami pergeseran kelisanan, social masyarakan dan kepercayaan penghayat dalam perjalanan mantra bersangkutan harus menjadi pertimbangan pula. Penyisipan susunan bunyi/kata, frase, kalimat, bait dalam mantra ada dasarnya pemikiran dari penghayatnya.

Kelisanan dalam mantra memiliki kekhasan tersendiri, karena mantra oleh penghayatnya dianggap suci, memiliki kekuatan magis, tidak diucapkan secara sembarang, selalu dijaga kemurniannya, diturunkan dari penghayat ke penghayat berikutnya secara hati-hati. Keadaan seperti itu, tidak berarti terjaga dari perubahan, interpolation (proses kelupaan) terjadi juga dalam perjalanan karya lisan. Namun untuk penyuntingan kembali pada mantra ada kemudahan karena mantra merupakan untaian bahasa dengan irama yang teratur, estetika bunyi (rima) yang sangat baik dalam larik maupun antar larik dan diksi yang mntap dalam gaya tradisional. Keestetikaan tersebut memiliki fungsi pembantu ingatan (nemonic devise) bagi penghayat. Namun tidak mungkin pul menelusuri sesuai penciptaan pertama.

2.3.3    Mantra Sebagai Hasil Kesusastraan Lama
Salah satu jenis sastra Indonesia lama ialah mantra. Mantra itu tidak lain daripada gubahan suatu bahasa yang diresapi oleh kepercayaan kepada dunia yang gaib dan sakti. Gubahan bahasa dalam mantra itu mempunyai seni kata yang khas pula. Kata-katanya dipilih secermat-cermatnya, kalimatnya tersusun dengan rapi, begitu pula dengan iramanya. Isinya dipertimbangkan sedalam-dalamnya. Ketelitian dan kecermatan memilih kata-kata, menyusun larik dan menetapkan iramanya itu sangat diperlukan, terutama untuk menimbulkan tenaga gaib. Hal ini dapat kita pahami karena suatu mantra yang diucapkan tidak dengan semestinya, kurang katanya, salah lagunya, dan sebagainya, akan hilang pula kekuatannya, tidak akan menimbulkan tenaga gaib lagi. Sedang tujuan utama dari suatu mantra adalah menimbulkan tenaga gaib.

Alisjahbana (1952: 92) menggolongkan mantra ke dalam golongan bahasa berirama. Sedang bahasa berirama ini termasuk jenis puisi lama. Dalam bahasa berirama itu, irama bahasa itu sangat dipentingkan, terutama dalam mantra diutamakan sekali irama yang kuat dan teratur untuk membangkitkan tenaga gaib.

Mantra itu timbul adri suatu hasil imajinasi dalam alam kepercayaan animism. Mereka percaya kepada hantu, jin, setan, dan benda-benda keramat dan sakti. Hantu, jin, dan setan itu menurut anggapan mereka ada yang jahat yang mengganggu kehidupan manusia, tetapi ada pula yang baik yang membantu manusia waktu berburu, menangkap ikan dan sebagainya.

2.3.4    Mantr dan Masyarakat
Mantra adalah sesuatu yang lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari keyakinan dan kepercayaan. Terutama dalam masyarakat tradisional , mantra bersatu dan terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari. Seorang pawing atau dukun yang ingin menghilangkan wabah penyakit dapat dilakukan dengan membacakan mantra-mantranya. Dan masih banyak lagi kegiatan lain terutama yang berhubungan dengan adat biasanya didahului dengan mantra. Meneurut kepercayaan mereka bahwa dengan mengucapkian mantra itu kegiatan mereka akan sukses dan mempunyai berkah. Kebiasaan ini berlangsung secara turun temurun, dan sampai sekarang masih kita kita temukan dalam masyarkat terutama dalam masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, mantra sebagai karya yang lahir dari masyarakat maka keberadaanya tidak bias dipisahkan dari kehidupan masyarakat.

Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang erat. Artinya mantra tercipta dari masyarakat. Dengan kata lain, mantra tidak mungkin ada jika tidak ada masyarakat pewarisnya. Demikian pula masyarakat tradisional yang berpegang teguh pada adat istiadatnya tidak bias dipisahkan dari kehidupan mantra. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa mantra lahir dari masyarakat sebagai perwujudan dari keyakinan atau kercayaan. Kepercayaan adanya kekuatan gaib, selalu mendorong mereka untik merealisasikan kekuatan tersebut ke dalam wujud nyata untuk memenuhi kebutuhan.

2.3.5    Misteri dalam Mantra
Bahasa sebuah mantra bersifat esoteric, yang tidak mudah dipahami, bahkan mungkin tidak punya arti atau paling kurang tidak punya arti nominal. Yang penting bagi sebuah mantra bukanlah bagaimana orang dapat memahaminya, tetapi kenyataan dan kemanjurannya.

Kenyataan sebagai sebuah mantra menyarankan kita pada hal berikut. Pertama, ia tidak berhubungan dengan soal pemahaman sama sekali. Pada dasarnya, mantra adalah ucapan yang tidak perlu dipahami, karena ia lebih merupakan permainan bunyi dan bahasa belaka. Kedua, karena tidak ada soal pemahaman, menyebabkan ia mesti dilihat dari segi sudutnya sendiri atau kenyataan yang ada tentang kehadirannya, dan bukan tentang apa yang dibawanya.

Kemanjurannya sebagai sebuah mantra juga tidak meminta kita untuk memahaminya, tetapi yang ada hanyalah efek atau akibat dari kehdirannya dan dari penggunaannya.

Sebuah mantra pada dasarnya menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh misteri. Ia merupaka suatu alat dalam usaha membujuk dunia misteri, boleh dikatakan dunia gaib, juga barangkali untuk tidak melakukan sesuatu terhadap manusia tertentu, manusia yang mengucapkannya.

Sesuai denga sifatnya sebagai penghubung antara manusia dengan dunia misteri, ia sebenarnya mempunyai dua dunia yang berbeda. Padanya ada alam manusia dan alam misteri. Tidak ada persoalan tentang alam manusia, karena ia alam yang biasa bagi kita. Ini terlihat pada beberapa persoalan yang dikemukakan dalam mantra dan juga dengan penggunaan unsure bahasa yang dianggap dipunyai oleh manusia.

2.3.6    Mesosambakai
Salah satu jenis mantra yang dikenal oleh masyarakat Tolaki adalah mantra mesosambakai. Mesosambakai sebenarnya adalah suatu kegiatan memandikan bayi dalam suatu kelahiran anak pertama, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam kegiatan memandikan bayi tersebut, digunakan mantra-mantra yang diyakini abgi masyarakat Tolaki. Mantra mesosambakai terdiri atas beberapa bentuk, yaitu mantra omanu (Ayak Kecil), mantra ni’isi (Kelapa bertunas), mantra opadi (kampak), mantra nabi baka (Bambu satu Tunas), serta mantra oloti (Padi/Beras).

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1    Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif. Maksudnya, bahwa mantra mesosambakai dideskripsikan menurut apa adanya sesuai dengan data yang diperoleh di lapangan.
3.2    Data dan Sumber Data
3.2.1    Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah teks mantra serta rekaman pada saat informan (dukun tentang mesosambakai) membacakan mantra mesosambakai. Pengambilan data ini sifatnya tidak alami. Artinya, peneliti tidak meneliti secara langsung pada pelaksanaan memandikan dalam suatu kelahiran (semacam upacara yang turun temurun dari masyarakat Tolaki setiap kelahiran anak pertama dalam sebuah keluarga).
3.2.2    Sumber data
Data penelitian ini bersumber dari informan di lapangan. Dengan kriteria informan adalah salah satu dukun atau pawang yang berkaitan dengan mesosambakai.
3.3    Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan metode penelitian dan sumber data, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut.
1.    Observasi, adalah teknik yang digubakan untuk mendengarkan tutran informan.
2.    Rekam, yaitu teknik yang digunakan untuk menyimpan data dengan menggunakan tape recorder.
3.    Catat, yaitu teknik yang digunakan untuk mencatat data dari informan yang dianggap masih memerlukan penjelasan.
4.    Wawancara, yaitu melakukan Tanya jawab dengan informan untuk memintai keterangan atau pendapatnya. Mengajukan pertanyaan langsung dan terarah untuk mendapatkan data-data yang diharapkan dan informan menjelaskan secara panjang.

3.4    Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam menganalisis data adalah teknik struktural. Yang dimaksud dengan struktural di sini adalah mencakup susunan mantra mesosambakai yang dianalisis, kegiatan penelitian ini bersifat deskriptif yang berdasarkan analisis data yang diperoleh pemahaman yang mendalam mengenai struktur mantra mesosambakai, baik struktur fisik maupun struktur batin.

DAFTAR PUSTAKA

Rahmawati, dkk. 2007. Sastra Lisan Tolaki. Kendari: Kantor Bahasa Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Samsuddin. 2006. Realitas Sosial Dalan novel memburu fatamorgana karya
Helena koloway dan wuwun wiati S. Kendari: Universitas Halu Oleo (Skripsi)
Dewiyanti. 2007. Aspek Diktis dalam Novel Surat Kepada Langit Karya Husnul
Mujahid. Kendari: Universitas Halu Oleo (Skripsi).

Pentingnya Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi



BAB I
PENDAHULUAN



1.1  Latar Belakang
Bahasa merupakan media yang digunakan anggota suatu kelompok social untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan sebagai identitas diri. Bahasa dapat menggiring kita menembus ruang dan waktu. Melalui bahasa, kita dapat mempelajari ilmu pengetahuan, sejarah, maupun adat istiadat suatu bangsa dalam masa tertentu. Bahasa mampu merekam berbagai hal tersebut dalam bentuk lisan maupun tulisan. Semua itu merupakan fungsi bahasa yang telah lama diemban oleh bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional Negara Indonesia yang merupakan bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia sudah diajarkan sejak tingkat SD, SMP, dan SMA. Oleh karena itu sebaiknya setelah jenjang SMA bahasa Indonesia sudah dikuasai atau setidaknya mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Bahasa Indonesia. Namun faktanya, masih sedikit mahasiswa yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia secara maksimal.
Alasan inilah yang membuat Dirjen depdiknas RI memutuskan memasukan Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata kuliah yang wajib diajarkan di seluruh perguruan tinggi dan seluruh jurusan. Tujuannya untuk mengasah kemampuan berbahasa dan mengembangkan kepribadian para mahasiswa. Sudah menjadi suatu kewajiban bagi kita selaku Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menguasai dan menerapkan bahasa Indonesia dalam kehidupan seharihari dengan baik dan benar, sehingga bahasa Indonesia dapat terjaga keasliannya.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia yang dikrarkan sejak 28 Oktober 1928 oleh para pejuang bangsa sampai dengan saat ini masih tetap eksis. Bahasa Indonesia sampai dengan saat ini masih dirasakan perannya dalam berbagai sendi kehidupan, antara lain sebagai alat komunikasi antarwarga dan antarmasyarakat Indonesia. Bahasa Indonesia masih tetap memegang peranan penting dan masih tetap merupakan kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Bukti menunjukkan bahwa bahasa Indonesia masih lebih dominan digunakan di dalam berbagai kegiatan, seperti rapat-rapat, siaran radio, TV,  pidato kenegaraan, pidato politik, pelaksanaan administrasi kedinasan, dan bahasa pennngantar pada setiap level pendidikan.  Bahkan saat ini, sebagian besar komunikasi tidak resmi antarwarga pun sudah sering menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa daerah masing-masing. Bahasa Indonesia yang seharusnya menjadi bahasa kedua setelah bahasa daerah (bahasa ibu), kini justru bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa pertama, sedangkan bahasa daerah telah menjadi bahasa kedua bahkan telah menjadi bahasa ketiga (bahasa asing) bagi pemilikinya.
            Bahasa Indonesia merupakan kebanggaan bagi bangsa Indonesia bukan hanya karena fungsinya sebagai alat komunikasi lisan dan tulis, tetapi juga secara objektif berfungsi sebagai: (1) alat pemersatu, (2) pemberi kekhasan, (3) pembawa kewibawaan, dan (4) kerangka acuan (Alwi 2000:15; HP Ahmad dan A. Alek;  Muslich,  2010; Pateda dan Yennie P. Pulubuhu. 2007; Rahayu,  2007; Sugono, 2009; dan Widjono, 2010).   Di samping itu Mendiknas (Bambang Sudibyo dalam Nurjamal dan  Sumirat,  2010: 209), mengatakan bahwa Bahasa Indonesia tak hanya digunakan dan dipelajari di tanah air, tetapi juga telah tersebar dan telah dipelajari di berbagai perguruan tinggi mancanegara. Bukti menunjukkan bahwa bahasa Indonesia di samping dipelajari oleh penutur asing yang ada di Indonesia yang dikenal dengan BIPA, juga telah menjadi salah satu mata kuliah wajib di beberapa negara, antara lain Australia. Dalam hal ini bahasa Indonesia telah menjadi mata kuliah yang diminati. Masalahnya adalah bagaimana dengan kita bangsa Indonesia sebagai pemilik bahasa ini?
Sebagai pemersatu, bahasa Indonesia berfungsi menghubungkan antarsesama penutur berbagai dialek bahasa Indonesia. Sebagai pemberi kekhasan, bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Melayu Malaysia, bahasa Melayu Singapura, bahasa Melayu Brunai Darussalam, atau bahkan bahasa bahasa Indonesia sudah jauh berbeda dari bahasa Melayu Riau/Johor sebagai induk bahasa Indonesia. Sebagai fungsi kewibawaan perkembangan bahasa Indonesia dapat dijadikan teladan bagi bangsa-bangsa lain, seperti di Asia Tenggara atupun mungkin juga di negara-negara di Afrika, yang juga memiliki bahasa-bahasa yang moderen karna penutur bahasa Indonesia yang baik dan benar akan memperoleh kewibawaan di mata orang lain. Sebagai fungsi kerangka acuan, bahasa Indonesia akan selalu berkembang. Perkembangan itu selalu disepakati melalui hasil keputusan pertemuan-pertemuan khusus untuk membicarakan tentang bahasa Indonesia atau melalui kongres Bahasa Indonesia. Keputusan-keputusan yang telah disepakati di masarakatkan secara resmi, baik melalui media maupun melalui pembelajaran pada setiap jenjang sekolah.
              Untuk memelihara, melindungi, dan mewujudkan bahasa Indonesia agar tetap dicintai dan digunakan oleh bangsa Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang sistem pendidikan Nasional (SISDIKNAS) menetapkan bahasa Indonesia sebagai  pengantar dalam setiap tingkatan pendidikan nasional. Hal itu tercantum dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS, BAB VII, Psl 33 ayat 1 yang berbunyi ’’Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional’’. Sebagai implementasi dari UU SISDIKNAS tersebut, pemerintah menetapkan kurikulum Nasional dan Garis-Garis Besar Prorgram Pengajaran Bahasa Indonesia untuk setiap tingkatan sekolah yang ada di Indonesia.
 Untuk melihat sejauh mana realisasi kecintaan, kesetiaan, dan kebanggan bangsa Indonesia sebagai pemilik terhadap  bahasa Indonesia, maka pihak-pihak yang terkait (teutama yang bergerak dalam bidang pendidikan) telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib mulai dari tingkat SD, SMP, SMA/MA/SMK  dan sebagai mata kuliah pengembangan kepribadian di  PT yang wajib dicantumkan dalam kurikulum pada seluruh  Jurusan/Prodi/Fakultas dan wajib diambil/diprogramkan oleh seluruh mahasiswa sampai lulus. Selanjutnya, bahasa Indonesia ditetapkan pula sebagai mata pelajaran/mata kuliah yang diujikan secara nasional (UAN/UN).  
Masalahnya sekarang adalah apakah prospek penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat Indonesia di era globalisasi ini masih sesuai dengan harapan sebagaimana yang dipaparkan sebelumnya? Pertanyaan ini perlu dilontarkan, sebab dengan diberlakukanya perdagangan bebas antar negara, batas teritorial secara geografis menjadi tidak penting. Sekat-sekat teritorial tersebut selama ini mulai berangsur-angsur hilang dengan masuknya informasi secara bebas ke seluruh sudut ruangan yang ada di seluruh penjuru dunia. Menghadapi permasalahan ini mampukah bangsa Indonesia  mempertahankan dan mengembagkan bahasa Indonesia di tengah pesatnya teknologi informasi dewsa ini? Agar bahasa  Indonesia tetap eksis dipergunakan oleh masyarakat Indonesia perlu adanya upaya yang serius dan kerja keras dari seluruh bangsa Indonesia termasuk generasi muda (mahasiswa).



1.2  Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah “Apa Manfaat Mempelajari Mata Kuliah Bahasa Indonesia Perguruan Tinggi?”

1.3  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dan penulis dapat mengetahui apa sebenarnya manfaat mempelajari mata kuliah bahasa Indonesia bagi kita khususnya mahasiswa perguruan tinggi.

1.4  Manfaat
Setelah pembaca makalah ini, maka setidaknya pembaca akan memahami arti penting dari mata kuliah bahasa Indonesia, sehingga mata kuliah tersebut masih terus diajarkan bahkan sampai perguruan tinggi.



BAB II
PEMBAHASAN



2.1 .Pengertian Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.
Sifat bahasa: (a) sistemis yaitu terdiri atas pola-pola yang beraturan dan saling berkaitan; (b) arbitrer yaitubentuk dan makna bersifat manasuka sesuai dengan masyarakat pemakainya; (c) konvensional yaitu bentuk dan makna ditentukan berdasarkan kesepakatan masyarakat pemakai; (d) dinamis yaitu bentuk dan makna berkembang/berubah sesuai perkembangan.
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.

2.2 Mata Kuliah Bahasa Indonesia Bagi Mahasiswa
Bahasa Indonesia merupakan produk bahasa yang lahir di bangsa Indonesia sendiri. Bahasa Indonesia tidak lahir begitu saja, namun juga melalui proses yang panjang. Bahkan hingga sekarang, bahasa Indonesia masih terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, setiap saat bahasa Indonesia dapat bertambah kosa katanya. Perkembangan zaman yang cepat terutama di era globalisasi ini menuntut bahasa Indonesia untuk selalu berbenah sehingga dapat menampung berbagai macam istilah-istilah baru yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia.
Bahasa ini digunakan untuk menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia sendiri terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang setiap suku tersebut memiliki bahasa daerah masing-masing. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk menyatukan bahasa-bahasa tersebut ialah melalui bahasa Indonesia
Berbagai macam fungsi bahasa Indonesia, salah satunya yang telah disebutkan di atas yaitu sebagai pemersatu bangsa. Selain itu ada beberapa fungsi bahasa Indonesia, salah satunya yaitu sebagai bahasa baku dalam penulisan karya ilmiah. Penulisan karya ilmiah dianjurkan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun juga perlu diketahui, penulisan karya ilmiah tingkat internsional harus menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Meskipun demikian, karya ilmiah tersebut hendaknya juga ditulis dalam bahasa Indonesia agar anak negeri juga dapat mempelajari karya tersebut. Masih banyak lagi fungsi dari bahasa Indonesia, seperti menumbuhkan sikap nasionalisme, cinta produk sendiri (produk-produk Indonesia dan lain-lain), bahasa dalam forum formal, bahasa dalam kegiatan belajar mengajar, dan lain sebagainya.
            Melihat dari berbagai fungsi di atas, maka Bahasa Indonesia perlu untuk dipelajari. Bahkan dari SD hingga perguruan tinggi, pelajaran dan kuliah bahasa  Indonesia masih diberikan. Hal ini penting untuk mengenalkan dan melatih para siswa agar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. 
Dalam maraknya era globalisasi masa kemajuan informatika dan komuniakasi setiap individu dituntut untuk menyumbangkan karya kreativitasnya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Terutama bagi kalangan mahasiswa yang dituntut untuk selalu berkarya baik berbentuk tulis maupun non tulisan. Akan tetapi dalam dunia tulis menulis di kalangan mahsasiswa, masih banyak kerancuan-kerancuan yang menyimpang dari kaidahnya dalam tulisan-tuliasan. Apa lagi budaya menulis yang sesuai kaidah EYD sudah mulai terlupakan akibat dari kemajuan tekhnologi dan informatika yang bersifat instan. Selain itu gairah tulis menulis telah mengalami penurunan, sehingga tidak heran dalam kalangan mahasiswa lebih menyukai copy paste dari karya orang ataupun membeli karya orang yang diaku sebagai karyanya.
Padahal dengan kemajuan tekhnologi dan informatika, membuka lahan yang seluas-luasnya bagi manusia untuk terus berkarya dan menuangkannya segala bentuk kreativitasnya, terutama dalam bentuk tulisan. Misalnya dalam dunia internet tersedia berbagai informasi yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta wadah yang siap menampung segala kreativitas dan uneg-uneg manusia yang berupa tulisan seperti situs blog maupun jejaring social. Akan tetapi kebanyakan mahasiswa Indonesia masih mengenyampingkannya dan belum dapat menggunakannya secara maksimal sebagai media mempublik karya.
Gairah tulis menulis bagi mahasiswa Indonesia masih tergolong rendah. Dan adapun tulisan-tulisan yang dikaryakannya pun masih mengalami kerancuan bahasa yang menyimpang dari kaidah EYD. Untuk itulah perlu adanya mata kuliah bahasa Indonesia bagi mahasiswa.
Akan tetapi sudah tentunya mahasiswa yang telah melewati jenjang SD hingga SMA telah menerima pelajaran bahasa Indonesia dari A sampai Z. Dan apakah di perguruan tinggi ini hanya mengulangi materi yang teah disampaikan layaknya di sekolah-sekolah? Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, pada umumnya dosen mengajarkan kembali  materi mata kuliah sebagai mana yang telah disampaikan para guru bahasa Indonesia di SD hingga SMA. Para dosen kembali mengajarkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Pedoman Umum  Ejaan yang Disempurnakan, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Tidak jarang mahasiswa diperlakukan seperti mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Sastra dan Bahasa. Seolah-olah mereka dididik menjadi calon ahli bahasa atau calon sarjana Bahasa Indonesia. Oleh karena materi yang sama telah mereka peroleh sebelumnya, maka banyak mahasiswa baru yang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia dengan setengah hati atau merasa sangat terpaksa, demi nilai atau indeks prestasi belaka. Sehingga tidak diherankan jika mahasiswa mengalami kejenuhan dalam belajar bahasa Indonesia. Akan tetapi apakah para mahasiswa telah mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik yang berupa tuliasan maupun lisan? Banyak riset yang memaparkan sebagaimana yang disampaikan oleh S. Sahala Tua Saragih dalam tulisannya “mahasiswa dan bahasai Indonesia” bahwa sebagian besar mahasiswa belum mampu menggunakan bahasa Indonesia secara lisan maupun tulisan dengan baik dan benar.
Untuk itu, mahasiswa non bahasa perlu dilatih secara intensif berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dan hal tersebut sudah menjadi konskwensi para dosen, baik dosen pengampu bahasa Indonesia maupun yang lain. Artinya, setiap dosen baik pengampu mata kuliah bahasa Indonesia maupun yang lain harus mampu mendidik para mahasiswa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam konteks ilmu atau program studi masing-masing. Dengan kata lain, setiap dosen harus mampu menjadi dosen Bahasa Indonesia. Selain itu para mahasiswa pun perlu mendapatkan pelatihan jurnalistik maupun berkarya ilmiah serta mendapatkan wadah untuk berkreasi mengeluarkan segala kreativitasnya. Sehingga nantinya dalam penulisan karya ilmiah, mahasiswa mampu membuat karya ilmiah dengan penuturan bahasa Indonesia yang baik dan benar tanpa adanya copy paste maupun plagiasi.

2.3 Pentingnya Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi
Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional negara Indonesia yang merupakan bahasa pemersatu. Bahasa Indonesia sudah diajarkan sejak tingkat SD, SMP, dan SMA. Oleh karena itu sebaiknya setelah jenjang SMA bahasa Indonesia sudah dikuasai atau setidaknya mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Bahasa Indonesia. Namun faktanya, masih sedikit mahasiswa yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia secara maksimal.
           Di perguruan tinggi, kita akan mempelajari Bahasa Indonesia dimana kita dituntut untuk mempertahankan Bahasa Indonesia. Ini dituntut supaya tidak luntur oleh kalangan banyak pemuda dan pengaruh budaya asing yang cenderung mempengaruhi pikiran generasi muda.
Selain itu bahasa Indonesia itu penting untuk dipelajari diperguruan tinggi, dikarenakan di universitas setiap mahasiswa berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian, bahasa Indonesia sebagai panduan untuk penyusunan dan penggunaan tata bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, dll), selain itu mempelajari bahasa Indonesia bagi mahasiswa di universitas sama halnya seperti mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA, namun pembahasan di universitas lebih spesifik dan mendalam, dan sebagian besar mahasiswa masih tetap ingin mempelajari bahasa Indonesia dikarenakan agar mereka mampu bertata bahasa dengan baik dan benar.
Alasan inilah yang membuat Dirjen depdiknas RI memutuskan memasukan Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata kuliah yang wajib diajarkan di seluruh perguruan tinggi dan seluruh jurusan. Tujuannya untuk mengasah kemampuan berbahasa dan mengembangkan kepribadian para mahasiswa. Sudah menjadi suatu kewajiban bagi kita selaku Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menguasai dan menerapkan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari–hari dengan baik dan benar, sehingga bahasa Indonesia dapat terjaga keasliannya.
Dalam perguruan tinggi, kita akan sering membuat karya ilmiah. Bukan hanya karya ilmiah yang akan kita buat melainkan laporan praktikum, skripsi, thesis dan karya tulis lainnya. Di perguruan tinggi, kita akan mempelajari Bahasa Indonesia dimana kita dituntut untuk mempertahankan Bahasa Indonesia. Ini dilakukan supaya tidak luntur oleh kalangan banyak pemuda dan pengaruh budaya asing yang cenderung mempengaruhi pikiran generasi muda.
Di dalam mata kuliah Bahasa Indonesia, kita pasti mempelajari dan memahami arti pentingnya tata bahasa dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dalam pembuatan karya ilmiah dan sejenisnya. Setelah kita bisa memahami EYD dengan baik dan benar, kita akan bisa mengetahui konsep penggunaan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dimanapun kita berada. Sebagai seorang mahasiswa, selayaknya kita menambah kosakata yang sesuai dengan keilmuan yang kita tekuni di perguruan tinggi. Kita harus bisa menggunakan diksi-diksi yang baik dan kalimat-kalimat yang efektif sesuai jenjang pendidikan, bukan seperti anak SMA dan SMP lagi.
Dalam suatu karya ilmiah, penggunaan bahasa memiliki arti yang sangat penting. Bahasa adalah alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Untuk penggunaan bahasa dalam suatu karya ilmiah berarti menitikberatkan suatu bahasa sebagai alat komunikasi berupa tulisan. Karena itu, penggunaan bahasa dalam karya ilmiah sangatlah penting. Pengertian dari karya ilmiah sendiri adalah laporan tertulis dan dipublikasi yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan. Terdapat berbagai jenis karangan ilmiah, antara lain laporan penelitian, makalah seminar atau simposium , artikel jurnal, yang pada dasarnya kesemuanya itu merupakan produk dari kegiatan ilmuwan.
Nah, untuk di tingkatan perguruan tinggi, khususnya jenjang S1, mahasiswa dilatih untuk menghasilkan karya ilmiah, seperti makalah, laporan praktikum, dan skripsi (tugas akhir). Yang disebut terakhir umumnya merupakan laporan penelitian berskala kecil tetapi dilakukan cukup mendalam. Sementara itu makalah yang ditugaskan kepada mahasiswa lebih merupakan simpulan dan pemikiran ilmiah mahasiswa berdasarkan penelaahan terhadap karya-karya ilmiah yang ditulis pakar-pakar dalam bidang persoalan yang dipelajari. Penyusunan laporan praktikum ditugaskan kepada mahasiswa sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan menyusun laporan penelitian. Selain itu karena alasan di atas, terdapat beberapa hal lain yang membuat bahasa indonesia harus dijadikan mata kuliah di perguruan tinggi.
Dengan demikian, sangat penting untuk mengadakan mata kuliah Bahasa Indonesia di setiap perguruan tinggi selain karena bahasa indonesia merupakan bahasa negara kita sendiri dan sebagai bahasa pemersatu dengan cara ini juga kita secara tidak langsung telah melestarikan bahasa kita. siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Indonesia ini kalau bukan kita sebagai warga negara itu sendiri.



2.4.Tujuan dan Manfaat Mata Kuliah Bahasa Indonesia

Diajarkannya mata kuliah Bahasa Indonesia di berbagai universitas dan perguruan tinggi memiliki tujuan umum yang meliputi:
1.      Menumbuhkan kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan dapat mendorong mahasiswa memelihara bahasa Indonesia.
2.      Menumbuhkan kebanggan terhadap bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan mampu mendorong mahasiswa mengutamakan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambing identitas bangsa.
3.      Menumbuhkan dan memelihara kesadaran akan adanya norma bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan agar mahasiswa terdorong untuk menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku.

Selain tujuan umum, Mata kuliah Bahasa Indonesia ini juga memiliki tujuan khusus. Secara khusus mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa, calon sarjana, terampil dalam menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik apakah itu secara lisan, ataupun tertulis, sebagai pengungkapan gagasan ilmiah.
Jika dilihat dari tujuan diberikannya mata kuliah ini sebenarnya cukup jelas apalagi di zaman seperti ini khususnya anak muda generasi penerus Bangsa saat ini kurang sadar akan pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar, kurang merasa bangga dengan bahasa nasional, contohnya adanya bahasa gaul yang malah lebih sering digunakan sehari-hari sampai diterbitkan pula kamus bahasa gaul, apakah ini berarti bahasa Indonesia sudah dilupakan? Maka dari itu dengan adanya mata kuliah bahasa Indonesia ini setidaknya mempunyai harapan untuk para penerus bangsa agar tidak pernah melupakan bahasa Ibu mereka, yaitu bahasa Indonesia.

Manfaat Mempelajari Bahasa Indonesia secara umum ini dilakukan untuk:
1. Menumbuhkan sikap bahasa yang positif terhadap bahasa Indonesia;
2. Menjadi bahasa pemersatu dari berbagai bahasa dari tiap daerah di Indonesia;
3. Kebanggaan terhadap bangsa Indonesia;
4. Kesetiaan akan bahasa Indonesia;
5. Meningkatkan kesadaran akan adanya norma dalam berbahasa dan secara khusus bertujuan untuk terampil berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.


BAB III
PENUTUP




3.1        SIMPULAN
bahasa Indonesia itu penting untuk dipelajari diperguruan tinggi, dikarenakan Bahasa Indonesia merupakan bahasa pemersatu, karena di universitas setiap mahasiswa berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian, bahasa Indonesia sebagai panduan untuk penyusunan dan penggunaan tata bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, dll), selain itu mempelajari bahasa Indonesia bagi mahasiswa di universitas sama halnya seperti mempelajari mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA, namun pembahasan di universitas lebih spesifik dan mendalam, dan sebagian besar mahasiswa masih tetap ingin mempelajari bahasa Indonesia dikarenakan agar mereka mampu bertata bahasa dengan baik dan benar, bahasa Indonesia-pun penting untuk dilestarikan oleh penutur aslinya.
Melihat dari berbagai fungsi, maka Bahasa Indonesia perlu untuk dipelajari. Bahkan dari SD hingga perguruan tinggi, pelajaran dan kuliah bahasa  Indonesia masih diberikan. Hal ini penting untuk mengenalkan dan melatih para siswa agar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. Dalam maraknya era globalisasi masa kemajuan informatika dan komuniakasi setiap individu dituntut untuk menyumbangkan karya kreativitasnya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Terutama bagi kalangan mahasiswa yang dituntut untuk selalu berkarya baik berbentuk tulis maupun non tulisan. Akan tetapi dalam dunia tulis menulis di kalangan mahsasiswa, masih banyak kerancuan-kerancuan yang menyimpang dari kaidahnya dalam tulisan-tuliasan. Apa lagi budaya menulis yang sesuai kaidah EYD sudah mulai terlupakan akibat dari kemajuan tekhnologi dan informatika yang bersifat instan. Selain itu gairah tulis menulis telah mengalami penurunan, sehingga tidak heran dalam kalangan mahasiswa lebih menyukai copy paste dari karya orang ataupun membeli karya orang yang diakuI sebagai karyanya. Padahal dengan kemajuan tekhnologi dan informatika, membuka lahan yang seluas-luasnya bagi manusia untuk terus berkarya dan menuangkannya segala bentuk kreativitasnya, terutama dalam bentuk tulisan. Misalnya dalam dunia internet tersedia berbagai informasi yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta wadah yang siap menampung segala kreativitas dan uneg-uneg manusia yang berupa tulisan seperti situs blog maupun jejaring social. Akan tetapi kebanyakan mahasiswa Indonesia masih mengenyampingkannya dan belum dapat menggunakannya secara maksimal sebagai media mempublik karya.

3.2     Saran
Diharapkan makalah ini dapat mengingatkan pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya bahwa bahasa Indonesia perlu dipelajari, karena dengan cara ini juga kita secara tidak langsung telah melestarikan bahasa kita. Siapa lagi yang akan melestarikan bahasa Indonesia ini kalau bukan kita sebagai warga Indonesia itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA


Subro, seno.1998. Seri Bahasa Indonesia. Semarang: CV Aneka ilmu
Muslich, Masnur. 2010. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi: Kedududkan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara
Rahayu, Mnto. 2007. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Jakarta: PT Grasindo